Sabtu, 31 Januari 2015

IBRAH

KETIKA MARAH DENGAN ISTRIMU,
PANDANGI DIA KETIKA TIDUR

“Assalaamualaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah.
Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel, dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya.

Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya. Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu.
Karena kamu pun juga tidak sama persis dengan maunya.
Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda.
Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.
Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, lihatlah ketika istrimu tidur….

“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.

Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandaginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Dalam batin, dia bergumam,

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktivitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemana pun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, di pundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku, di kala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasihatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.

Maafkan aku istriku, kau pun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridaan Allah swt. Segala puji hanya untuk Allah swt. yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”

Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian ia pun terlelap.

***
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan. “Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.

“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggung jawab kupikulkan di pundakmu.

“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.

“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterima kasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapa pun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam menasihatiku, tapi kesungguhanmu beramal saleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istikamah di jalan Allah membahagiakanku.

“Maafkan aku wahai suamiku, aku pun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk menaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput rida-Nya..”


Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun waj’alna lil muttaqiina imaamaa.

Jumat, 23 Januari 2015

CERPEN

Pertarungan
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvYXmyhGUTA7jUwKgQsZCpSPn1Q4qihggMZkk1BTfQ18zmG4chJLXdhqw9351Tol5_qoL3cfjJIK12Y_yDzKPJ-DIEgFipKTVs_ttgYRpYGPusJCXDb2PWkUX7yys91A94C15b1Tqgf0I/s1600/icon-date.png 18.12 Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhshJihImpE_zWYMYt5UXRP7cD6gOd3Eum7I2FmVI_pDtV_Zl3ThNUszT61Eka5jAkqzTSJjoe1LqDtY_6BA_FoFQyCu_-H2TIaWCbJ6Wq3XtjMe5bWrvIF_oMrMHh05qJmp_kTsUXhbFk/s1600/aaa.png DENNY PRABAWA 
Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 19 Otober 2014)


Pukul sepuluh malam Jumat kemarin, dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu menyalanya. Aku tahu bahwa kau tidak pernah peduli dengan nada dering yang kupakai sebab mengurus dua anak kita yang masih balita jauh lebih menyita perhatianmu. Ketika kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau sedikit keberatan.

Kau sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang yang  bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya aku memilikimu.

Entah kau menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.

Ah, kau pasti lelah sekali, istriku.

Aku tahu, mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun tentu sajaitu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.

Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal, ataumarah. Tidak!

Kau sempat membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu, Sayang: memiliki mobil adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.

Ah, ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.

Seperti itu pula yang terjadi malam itu.

Termasuk ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.

Aku tahu kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda …  tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula yang isi nyatak lagi penuh.

Pagi ini, kau mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.

Kau menyimak ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.

Usai menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya, kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama komplek.

Di kampus, aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid, semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama mereka acap membuatku ‘lupa diri’.

O ya istriku, aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah. Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafe favoritku yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal. 

Tentang keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.

O ya Sayang, sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya, dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang bersabar menimang buah hati di tahun kedua pernikahan.

Ah sudahlah, aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.

O ya, kau tahu bukan, kalau malam itu aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu kabur.

Usai mengantar Ilyas ke bangku bus, aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetirngebut, Sayang.

Sesampainya di rumah, setelah membuka pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompetkunci mobil, sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atas perutmu dan botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau, ya, kau masih terlelap dengan mulut yang setengah menganga.

Kau masih ingat, bukan, kalau aku mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah. Kitam engakhiri permainan satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggilkita. Ia pasti merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.

Kau tersenyum manis sekali malam itu. Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita akan membeli rumah baru di perumahan elit di dekat gerbang kota. Kau langsung memelukku dan kita bertarung lagi.

Istriku … jangan tersipu malu seperti itu.

Maafkanlah kalau ceritaku jadi ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita berbuat baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang sukses di Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di koran-koran lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga, entah dia sedang berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa (sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah satu rumah di Blok D. 

Nah, kau sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau bertanya tentang tangan kananku yang terluka.
Kau tersipu malu.

Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau tak melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.

Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?


HAMPIR empat bulan kita menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kita tinggal di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas, penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.

Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di antara rumpun irish yang rimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untung saja ini bukanlah kota yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedot perhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.
Itu adalah operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah mewah itusudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan cara cuci tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!

Sebentar lagi,setelah anak-anak terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkan tempat tidur dan berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktu yang mustajab. Dan keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu.  Aku sudah berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!

Kuhela napas beberapa kali. Sudah terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini, Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas dari lubang pengaitnya.

Kau memberi kode agar aku mematikan lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam, tapi sampai pagi. Sepanjang pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau pada salah satu halaman di dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera: membahagiakan istri di malam Jumat, bukan hanya menuai pahala karena mengamalkan sunah rasul, tapi juga kuasa membasuh dosa besar.

Dosa  pembunuhan.(*)

Description: https://scontent-a-hkg.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/10553356_10203153867190642_9158240658548599818_n.jpg?oh=3f5cc85c0b81786b5f409923dba9301a&oe=54F3B420



KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...