Pertarungan
18.12 DENNY PRABAWA
Pukul
sepuluh malam Jumat kemarin, dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu
menyalanya. Aku tahu bahwa kau tidak pernah peduli dengan nada dering yang
kupakai sebab mengurus dua anak kita yang masih balita jauh lebih menyita
perhatianmu. Ketika kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di
utara kota, kau sedikit keberatan.
Kau
sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada
pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar
keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin
perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang
yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan
berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan
lengang yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku
karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah
mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang
kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya
aku memilikimu.
Entah
kau menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali
beberapa menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.
Ah, kau
pasti lelah sekali, istriku.
Aku
tahu, mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa
mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun
tentu sajaitu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku
sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu
hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat
kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.
Ah,
betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah
mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan
banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau
mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu
memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah
kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu
menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi
istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal,
ataumarah. Tidak!
Kau
sempat membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual
mobil pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu,
Sayang: memiliki mobil
adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah
kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu
formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.
Ah,
ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.
Seperti
itu pula yang terjadi malam itu.
Termasuk
ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui
Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk
kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau
sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.
Aku tahu
kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan
rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda …
tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku
juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita
sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak
dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan
belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah
terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula
yang isi nyatak lagi penuh.
Pagi
ini, kau mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari
tempatnya berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan
lengkap bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau
aku memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan
seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.
Kau
menyimak ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang
membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam.
Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.
Usai
menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang
tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja
karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena
kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil
kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya,
kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin
memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan
mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama
komplek.
Di
kampus, aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim
nasyid, semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak
berpisah sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang
lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak
pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat
tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya
kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di
Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga
benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau
mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama
mereka acap membuatku ‘lupa diri’.
O ya
istriku, aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari
rumah. Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami
berpelukan erat untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan
yang membara. Aku mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus
yang ditumpanginya sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya
bahwa perbaikan akan memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke
salah satu kafe favoritku
yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal.
Tentang
keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat
bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk
mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.
O ya
Sayang, sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia
menolak. Aku baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu.
Dengan air muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun
memakluminya.Ya, dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti
Ilyas bila melihat kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang
lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan
mengaruniai mereka seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita
yang bersabar menimang
buah hati di tahun kedua pernikahan.
Ah
sudahlah, aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.
O ya,
kau tahu bukan, kalau malam itu aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya
baru selesai diperbaiki pukul sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba
di rumah setengah jam berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang
penjambret yang hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya
selamat, tapi tangan kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya
kepadaku. Ah,untung saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu
kabur.
Usai
mengantar Ilyas ke bangku bus, aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku
nyetirngebut, Sayang.
Sesampainya
di rumah, setelah membuka pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung
dompetkunci mobil, sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau
dan dua anak kita sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di
atas perutmu
dan botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut
ujung kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau, ya, kau
masih terlelap dengan mulut yang setengah menganga.
Kau
masih ingat, bukan, kalau aku mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu
dan membisikkan sesuatu yang meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah
kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah.
Kitam engakhiri
permainan satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggilkita. Ia
pasti merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.
Kau
tersenyum manis sekali malam itu. Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena
pertarungan sengit yang memberi kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena
aku mengatakan bahwa esok kita akan membeli rumah baru di perumahan elit di
dekat gerbang kota. Kau langsung memelukku dan kita bertarung lagi.
Istriku
… jangan tersipu malu seperti itu.
Maafkanlah
kalau ceritaku
jadi ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita
berbuat baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar
kita memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor
yang sukses di Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di
koran-koran lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar
ceritaku sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga,
entah dia sedang berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah
ingat tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa
persahabatannya yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau
juga nyawa (sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah satu rumah di
Blok D.
Nah, kau
sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau
bertanya tentang tangan kananku yang terluka.
Kau
tersipu malu.
Ya,
bagaimana mungkin malam tadi kau tak melihat perban di salah satu tangan
suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.
Kau
tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?
HAMPIR empat
bulan kita menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir
kita tinggal
di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas,
penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku
telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.
Ilyas
itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang
hanya kulajukan sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah
bedeng kos anak-anak sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan
malam itu: menyetop ojek, menyelinap di antara rumpun irish yang rimbun,
sepuluh meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di
utara kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya
malam itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara
tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak
mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah).
Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untung saja ini
bukanlah kota yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedot perhatian.
Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di
telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang
melaju kencang.
Itu
adalah operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu
rumah mewah itusudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam
keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli
dengan cara cuci
tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!
Sebentar
lagi,setelah anak-anak terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu
meninggalkan tempat
tidur dan berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktu yang
mustajab. Dan keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan
terakhirku dilakukan pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang
lalu. Aku sudah berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu,
apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan!
Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga
ketenangan keluargaku!
Kuhela
napas beberapa
kali. Sudah terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah
pengakuanku ini, Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau
sudah berdiri di tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing
teratasnya—sengaja kau—lepas dari lubang pengaitnya.
Kau
memberi kode agar aku mematikan lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam,
tapi sampai pagi. Sepanjang pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau
pada salah satu halaman di dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera:
membahagiakan istri di malam Jumat, bukan hanya menuai pahala karena
mengamalkan sunah rasul, tapi juga kuasa membasuh dosa besar.
Dosa
pembunuhan.(*)