KETIKA MARAH DENGAN
ISTRIMU,
PANDANGI DIA KETIKA TIDUR
Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan
anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu
pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya.
Diletakkannya tas, ponsel, dan kunci-kunci di
meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri
dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang
terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur.
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya.
Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari
kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya
dalam-dalam wajah Aminah, istrinya. Amin segera teringat perkataan almarhum
kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, “Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya
istri yang sama persis dengan maumu.
Karena kamu pun juga tidak sama persis dengan maunya.
Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter
sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda.
Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.
Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau
kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, lihatlah
ketika istrimu tidur….
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.
Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya,
tapi ia tidak bertanya lebih lanjut karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk
membuktikannya sendiri.
Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia
menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya,
semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur
benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi,
tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandaginya
menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan
entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Dalam
batin, dia bergumam,
“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktivitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu.
Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit.
Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung
jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan
anak-anakku.
Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemana pun tanpa beban, aku yang memberikan
beban di tanganmu, di pundakmu,
untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku.
Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau
ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu
untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau
campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
Wahai istriku, di kala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau
tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat
jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku.
Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasihatiku.
Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku,
kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa
aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu
tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus
membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang
harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada
dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan
malaikat.
Maafkan aku istriku, kau pun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita
bersama-sama untuk membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan
hamparan keridaan Allah swt.
Segala puji hanya untuk Allah swt. yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya.
Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya
pelan-pelan. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
***
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah,
istri Amin, terperanjat
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek,
sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya
dalam hati.
Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja.
Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur
aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku.
Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari
anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggung jawab kupikulkan di pundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang
menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau
sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin
melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku.
Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang
halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu
sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterima kasih padamu, dengan alasan apa aku
tidak berbakti padamu? Seberapa pun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah
dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam menasihatiku, tapi kesungguhanmu beramal saleh membanggakanku.
Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istikamah di jalan Allah membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, aku pun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji
hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu
untuk menaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput rida-Nya..”
Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun
waj’alna lil muttaqiina imaamaa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar