Jumat, 27 Maret 2015

MENULIS LAPORAN HASIL PERJALANAN/KUNJUNGAN

Laporan Perjalanan
Tugas siswa kelas X IPA 1, IPA 2, IPA 3, dan IPA 4 kali ini adalah membuat tulisan ringan laporan perjalanan. Perjalanan yang harus Anda laporkan adalah "Perjalanan Pendidikan Luar Sekolah (PLS)" yang Anda lakukan pada Kamis, 27 Maret 2015. Isi laporan meliputi unsur 5 W + 1 H. Laporan bisa disusun kronologis dari berangkat, di perjalanan, kegiatan di lokasi, hingga Anda meninggalkan lokasi. Laporan dapat juga disusun hanya memfokuskan pada beberapa lokasi kunjungan. Untuk menguatkan apa yang Anda laporkan sebaiknya Anda sertakan foto-foto pendukung. Misalnya, Anda melaporkan aktivitas produksi pabrik X. Maka, selain deskripsi tentang aktivitas produksi pabrik X, foto-foto tentang karyawan pabrik yang sedang bekerja/memproduksi akan sangat mendukung laporan Anda. Laporan Anda kerjakan di kertas HVS, kemudian unggah ke blog Anda masing-masing. Tanggal 1 April 2015 merupakan batas akhir unggah di blog.
Contoh:

Laporan Kunjungan ke Museum Fatahillah
(oleh Zanuba Artamieva Fadhila)
Pada hari minggu kuturut ayah pergi ke kota. Aku naik delman istimewa. Aku duduk di muka di samping Pak Kusir yang gantengnya seperti Zyan Malik, si personel One Direction. Driverku sangat terampil mengendalikan kuda hingga “pesawat” yang kami tumpangi berjalan nyaman.
45 menit semenjak keberangkatan, tepatnya pukul 08.30 WIB, “pesawat” yang kami tumpangi sudah mendarat di depan Museum Fatahillah. Aku, ayah, dan adikku si ceriwis Dhila, turun dari delman. Kami bertiga segera menuju ke bagian loket masuk. Pagi itu belum terjadi antrean. Hanya ada beberapa pengunjung lain yang segera membuntuti di belakang kami.
…. (Deskripsi tiap bagian yang Anda kunjungsi)

Pukul 13.05 menit setelah menunaikan salat zuhur di masjid area museum, kami meninggalkan Museum Fatahillah. … . 

Kamis, 12 Maret 2015


GADIS TERMANGU DI DEPAN PINTU
(tugas menulis cerpen prosedur kompleks)

Tidak seperti biasanya, pagi itu Hadija Munarifah datang terlambat. Bercak-bercak darah di bajunya masih basah. Belum kering penuh. Gadis lincah berkerudung lebar itu hanya berdiri terpaku di depan pintu kelas. Antara masuk dan tidak. Degup jantungnya mulai tak teratur. Pikirannya menerawang jauh.
“Nduk, jadi perempuan itu memang beda dengan lelaki. Perempuan harus 10 x lebih kuat daripada laki-laki, “nasihat ibunya sambil merapikan kamar tidur Dija yang agak berantakan.
“Enak dong kalo begitu jadi laki-laki, “jawab Dija, setengah protes.
“Ya, nggak, begitu! Kita harus terima takdir kita masing-masing. Kelak kamu akan tahu sendiri. Ayo sekarang rapikan kamarmu. Terus ke belakang. Ibu tunggu di pesolatan ya?” kata Bu Nurul sambil meninggalkan Dija yang masih malas-malasan.
Dija segera bergegas menuju ke kamar mandi. Tak lama ia sudah menyusul ibunya di pesolatan.
“Ibu, Ibu, kau ini aneh. Semua komandomu harus kuikuti. Pokoknya seperti rezim otoriter. Ibuku telah membuat sederet menu yang kadang-kadang tidak masuk di akalku. Aku tidak boleh bangun kalah dengan kokok ayam jago. Setiap hari bakda magrib, aku harus setor bacaan minimal 1 halaman. One day, one page to read holy Quran, kecuali pas tamuku datang. Yang lain? O masih banyak. Yang kadang aku gondok, tak satu pun aku boleh menawar. Pernah sekali waktu itu aku membantah. Sebenarnya tidak membantah sih, cuma tidak segera melaksanakan yang ibu maui. Terus ibuku ceramah panjang. Ya  panjang sekali, mirip teks prosedur kompleks yang diajarkan guruku. Tentang guruku ini juga aneh, bahkan sableng. Aneh, sebab kalau ngajar menggunakan jurus mabuk. Sering melompat-lompat, dari bicara materi pelajaran tiba-tiba loncat ke Liga Inggris, Bareskrim, Kapolri, KPK, kemudian ke artis Syahrini. Bagi dia, apa saja bisa disangkutkan dengan pelajaran. Akibatnya, sering membuat siswa nggak jelas. Terutama siswa seperti aku yang pasif mengonsumsi informasi dari dunia luar.  Makanya, aku lebih senang menyebut dia, Pak Gaje, “batin Dija.
 “Rabbana hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrata a’yun waja’alnaa limuttaqiina imaamaan, amiin.” Larikan kata-kata itu selalu Dija dengar meluncur dari mulut ibunya sehabis salat. Bahkan kata-kata itu sering ibunya senandungkan tatkala menemaninya tidur.
“Bu, Dija, pamit ya! Tolong pamitkan bapak juga, daa, assalamualikum, “pamit Dija disertai lambaikan tangan setelah mencium tangan ibunya.
“Beres Tuan Putri, waalaikumsalam warahmatullah, hati-hati cah ayu!” balas ibunya sambil masuk ke rumah.
Pukul 06.30 WIB, Dija Munarifah turun dari angkot yang membawanya. “Alhamdulillah. Ayo jalan kaki supaya sehat, “ batin Dija menghibur diri. Baru satu langkah ia menyeberang. “Braaakk!” Sebuah suara benturan disertai jeritan kesakitan seorang anak kecil tepat di depan matanya. “Astaghfirullaah, innalillaahi!” spontan Dija setengah teriak sambil menutupi mulutnya. Dija segera berlari menuju ke seorang perempun kecil yang terpental di pinggir jalan seberang. Sang pengendara motor tancap gas tak mempedulikannya.
“Ya, Allah, kamu berdarah Dik, “Dija merengkuh si perempuan kecil itu membopongnya ke tepi jalan yang aman. Ia keluarkan sapu tangannya. Ia bersihkan dan tutup darah yang menetes dari kening perempuan kecil itu. Lima menit kemudian puluhan orang sudah mengerumuni tempat kejadian. Orang-orang kampung pun keluar.
“We ladalah, ada kecelakaan. Ada anak sekolah kecelakaan!” teriak beberapa warga.
“Ayo kita angkat dan bawa ke rumah Pak Zidan di sebelah jalan itu, “pinta salah seorang.”
“Hati-hati mengangkatnya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa, “seru yang lainnya.
“Ada yang penyok gak?” sambung yang lainnya, “aduh kepalanya berdarah, mungkin pecah.”
“Hus, gundulmu amoh, jaga mulutmu! Jangan sembarangan kalau ngomong.”
 “He, perempuan! Kamu yang nabrak anak kecil ini ya? Kamu harus bertanggung jawab!” sebuah suara agak keras meluncur dari seorang pemuda sambil menunjuk Dija.
“Saya?” jawab Dija bingung.
“Ya, kamu! Siapa lagi?” itu bajumu belepotan darah, “berarti kamu pelakunya.”
Orang-orang mulai berdiri terprovokasi. Suasana menjadi tegang. Semua mata menatap Dija, gadis berkerudung lebar yang belepotan darah.
“Untung orang-orang sini baik-baik, Mbak. Kalau di kampung lain kamu sudah dibakar massa, lho,” kata lelaki itu agak meninggi.
Dija bangkit berdiri melepaskan rengkuhannya dari gadis cilik yang tak berdaya. Sorot matanya tajam menatap lelaki yang telah menohok batas kesabarannya.
“Mas menuduh saya penyebab perempuan ini begini, “kata Dija gemetar menahan marah, “Mas, salah.”
“Alaah, ngeles kamu! Mana ada di negeri ini orang salah  ngaku. Kalau ada itu pasti di cerita atau di sinetron saja. Akui saja, saya yakin orang-orang di sini nggak akan macam-macam sama kamu. Ya, asal tanggung jawab. Sudah selesai.”
“Tidak, Mas. Bukan saya penyebabnya. Masalah tanggung jawab, nggak usah diminta-minta. Perlu Mas tahu ya, pertama kali yang membobongnya ke tepi jalan siapa, Mas? Kedua, itu sapu tangan penuh darah yang masih menempel di kening si kecil, itu milik siapa, Mas? Lalu, yang ikut ngangkat bareng-bareng bersama orang-orang ini dari tepi jalan ke teras rumah ini siapa?”
“Mbak, ja… jangan tinggalkan  aa… aku, Mbak, “suara mengiba terdengar dari mulut gadis kecil. Semua mata dan perhatian tertuju pada suara si kecil. Dija Munarifah spontan merengkuh si gadis kecil. Suasana hening. Diam.
“Assalamualaikum, Cantik! Kamu terlambat ya?” sapa lelaki paruh baya mengagetkan Dija.
“Waalaikumsalam warahmatullaah, ei, Bapak, “jawab Dija sambil membuat isyarat dengan telunjuk jari kirinya ditempelkan di mulut.
“Kenapa nggak masuk, Mbak?” kata lelaki itu.
“Bapak, jangan keras-keras! Nanti Pak Guru yang di dalam dengar.”
“Nggak apa-apa, sekarang kan jam pelajaran saya.”
“Lho, bukannya sekarang MATEMATIKA, Pak?” tanya Dija masih tak percaya.
“Kan ganti jadwal lagi, “jawab lelaki itu sambil masuk kelas diikuti Dija Munarifah.
Sartono Jaya, Wates Magelang, Maret 2015
#selesai#


  





KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...