(tugas menulis cerpen
prosedur kompleks)
Tidak
seperti biasanya, pagi itu Hadija Munarifah datang terlambat. Bercak-bercak
darah di bajunya masih basah. Belum kering penuh. Gadis lincah berkerudung
lebar itu hanya berdiri terpaku di depan pintu kelas. Antara masuk dan tidak.
Degup jantungnya mulai tak teratur. Pikirannya menerawang jauh.
“Nduk, jadi
perempuan itu memang beda dengan lelaki. Perempuan harus 10 x lebih kuat
daripada laki-laki, “nasihat ibunya sambil merapikan kamar tidur Dija yang agak
berantakan.
“Enak dong
kalo begitu jadi laki-laki, “jawab Dija, setengah protes.
“Ya, nggak,
begitu! Kita harus terima takdir kita masing-masing. Kelak kamu akan tahu
sendiri. Ayo sekarang rapikan kamarmu. Terus ke belakang. Ibu tunggu di
pesolatan ya?” kata Bu Nurul sambil meninggalkan Dija yang masih malas-malasan.
Dija segera
bergegas menuju ke kamar mandi. Tak lama ia sudah menyusul ibunya di pesolatan.
“Ibu, Ibu, kau
ini aneh. Semua komandomu harus kuikuti. Pokoknya seperti rezim otoriter. Ibuku
telah membuat sederet menu yang kadang-kadang tidak masuk di akalku. Aku tidak
boleh bangun kalah dengan kokok ayam jago. Setiap hari bakda magrib, aku harus
setor bacaan minimal 1 halaman. One day,
one page to read holy Quran, kecuali pas tamuku datang. Yang lain? O masih
banyak. Yang kadang aku gondok, tak satu pun aku boleh menawar. Pernah sekali
waktu itu aku membantah. Sebenarnya tidak membantah sih, cuma tidak segera
melaksanakan yang ibu maui. Terus ibuku ceramah panjang. Ya panjang sekali, mirip teks prosedur kompleks
yang diajarkan guruku. Tentang guruku ini juga aneh, bahkan sableng. Aneh, sebab
kalau ngajar menggunakan jurus mabuk. Sering melompat-lompat, dari bicara
materi pelajaran tiba-tiba loncat ke Liga Inggris, Bareskrim, Kapolri, KPK,
kemudian ke artis Syahrini. Bagi dia, apa saja bisa disangkutkan dengan
pelajaran. Akibatnya, sering membuat siswa nggak jelas. Terutama siswa seperti
aku yang pasif mengonsumsi informasi dari dunia luar. Makanya, aku lebih senang menyebut dia, Pak
Gaje, “batin Dija.
“Rabbana
hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrata a’yun waja’alnaa limuttaqiina
imaamaan, amiin.” Larikan kata-kata itu selalu Dija dengar meluncur dari
mulut ibunya sehabis salat. Bahkan kata-kata itu sering ibunya senandungkan
tatkala menemaninya tidur.
“Bu, Dija,
pamit ya! Tolong pamitkan bapak juga, daa, assalamualikum, “pamit Dija disertai
lambaikan tangan setelah mencium tangan ibunya.
“Beres Tuan
Putri, waalaikumsalam warahmatullah, hati-hati cah ayu!” balas ibunya sambil
masuk ke rumah.
Pukul 06.30
WIB, Dija Munarifah turun dari angkot yang membawanya. “Alhamdulillah. Ayo jalan
kaki supaya sehat, “ batin Dija menghibur diri. Baru satu langkah ia
menyeberang. “Braaakk!” Sebuah suara benturan disertai jeritan kesakitan
seorang anak kecil tepat di depan matanya. “Astaghfirullaah, innalillaahi!” spontan
Dija setengah teriak sambil menutupi mulutnya. Dija segera berlari menuju ke
seorang perempun kecil yang terpental di pinggir jalan seberang. Sang
pengendara motor tancap gas tak mempedulikannya.
“Ya, Allah,
kamu berdarah Dik, “Dija merengkuh si perempuan kecil itu membopongnya ke tepi
jalan yang aman. Ia keluarkan sapu tangannya. Ia bersihkan dan tutup darah yang
menetes dari kening perempuan kecil itu. Lima menit kemudian puluhan orang
sudah mengerumuni tempat kejadian. Orang-orang kampung pun keluar.
“We
ladalah, ada kecelakaan. Ada anak sekolah kecelakaan!” teriak beberapa warga.
“Ayo kita
angkat dan bawa ke rumah Pak Zidan di sebelah jalan itu, “pinta salah seorang.”
“Hati-hati
mengangkatnya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa, “seru yang lainnya.
“Ada yang
penyok gak?” sambung yang lainnya, “aduh kepalanya berdarah, mungkin pecah.”
“Hus, gundulmu
amoh, jaga mulutmu! Jangan sembarangan kalau ngomong.”
“He, perempuan! Kamu yang nabrak anak kecil
ini ya? Kamu harus bertanggung jawab!” sebuah suara agak keras meluncur dari
seorang pemuda sambil menunjuk Dija.
“Saya?”
jawab Dija bingung.
“Ya, kamu!
Siapa lagi?” itu bajumu belepotan darah, “berarti kamu pelakunya.”
Orang-orang
mulai berdiri terprovokasi. Suasana menjadi tegang. Semua mata menatap Dija,
gadis berkerudung lebar yang belepotan darah.
“Untung
orang-orang sini baik-baik, Mbak. Kalau di kampung lain kamu sudah dibakar
massa, lho,” kata lelaki itu agak meninggi.
Dija
bangkit berdiri melepaskan rengkuhannya dari gadis cilik yang tak berdaya.
Sorot matanya tajam menatap lelaki yang telah menohok batas kesabarannya.
“Mas
menuduh saya penyebab perempuan ini begini, “kata Dija gemetar menahan marah,
“Mas, salah.”
“Alaah,
ngeles kamu! Mana ada di negeri ini orang salah
ngaku. Kalau ada itu pasti di cerita atau di sinetron saja. Akui saja,
saya yakin orang-orang di sini nggak akan macam-macam sama kamu. Ya, asal
tanggung jawab. Sudah selesai.”
“Tidak,
Mas. Bukan saya penyebabnya. Masalah tanggung jawab, nggak usah diminta-minta.
Perlu Mas tahu ya, pertama kali yang membobongnya ke tepi jalan siapa, Mas?
Kedua, itu sapu tangan penuh darah yang masih menempel di kening si kecil, itu
milik siapa, Mas? Lalu, yang ikut ngangkat bareng-bareng bersama orang-orang
ini dari tepi jalan ke teras rumah ini siapa?”
“Mbak, ja…
jangan tinggalkan aa… aku, Mbak, “suara
mengiba terdengar dari mulut gadis kecil. Semua mata dan perhatian tertuju pada
suara si kecil. Dija Munarifah spontan merengkuh si gadis kecil. Suasana
hening. Diam.
“Assalamualaikum,
Cantik! Kamu terlambat ya?” sapa lelaki paruh baya mengagetkan Dija.
“Waalaikumsalam
warahmatullaah, ei, Bapak, “jawab Dija sambil membuat isyarat dengan telunjuk
jari kirinya ditempelkan di mulut.
“Kenapa
nggak masuk, Mbak?” kata lelaki itu.
“Bapak,
jangan keras-keras! Nanti Pak Guru yang di dalam dengar.”
“Nggak apa-apa,
sekarang kan jam pelajaran saya.”
“Lho,
bukannya sekarang MATEMATIKA, Pak?” tanya Dija masih tak percaya.
“Kan ganti
jadwal lagi, “jawab lelaki itu sambil masuk kelas diikuti Dija Munarifah.
Sartono Jaya, Wates Magelang, Maret 2015
#selesai#
Pak Sartono...
BalasHapusCeritanya menarik.. klimaksnya nampak jelas. tapi maaf saya kritik dikit, alurnya menurut saya kog membingungkan ya.. mungkin loncatan alur bisa agak diperjelas lagi.
terutama di peralihan alinea berakhir "suasana hening. diam." sampai "'ass., cantik. terlambat ya". ^_^
Makasih kritik dan atensinya. Sy jg msih mencari closing yg pas. Intinya itu hnya menceritakan si gadis yg ketakutan msuk kelas krn gurunya trrkrnal galak, trus dia melamun. Coba bc jg crpen yg baru sy posting
BalasHapusPak saya bagus wiayanto dari kelas mia 4 ini blog saya bafbagus.blogspot.co.id
BalasHapuscerita panjang dan bagus
BalasHapustasseminar/www.yaakifaelegantas.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspak ini blog saya. nadya grace. artameviablog.blogspot.com
BalasHapuspak saya ahya nurmala x mia 2 ini alamat blog saya ahya nurmala.blogspot.com
BalasHapusmaaf tadi ada kendala sinyal