Minggu, 25 Oktober 2015

Esai

PERINGATAN BULAN BAHASA, SEBUAH IRONI
(oleh Sartono Jaya)
qÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9   tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ
  

Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur  (Al Maidah: 80)

“Kami putra dan putri Indonesia MENJUNJUNG bahasa persatuan, BAHASA INDONESIA.”

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam ikrar ke-3 Sumpah Pemuda 1928 “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Kemudian dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Jadi, bangsa ini telah sepakat dengan penuh kesadaran menahbiskan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebanggaan yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Memperingati Sumpah Pemuda dalam konteks di atas pada hakikatnya adalah memperingati Bulan Bahasa, bulan di situ kita harus berbangga berbahasa Indonesia. Modernitas, kemajuan, globalisasi, atau apa pun namanya tidak boleh menjadikan kita gamang terhadap bahasa kita sendiri. Sungguh sebuah ironi ketika sebuah momen peringatan Bulan Bahasa, kita justru mencampakkan bahasa yang kita peringati, membungkuk-bungkukkan badan, dan menjunjung-junjung tinggi bahasa asing di atas kepala kita. Sebagai contoh jelas terpampang di depan mata kita spanduk The Language Day and 36th  Anniversary of Bla-bla... adalah sebuah ironi yang menohok-nohok sanubari kita.
Lho, itu kan bahasa internasional dan kita kan ingin go internasional? Di situlah kita mulai keblinger. Semua orang pasti setuju bahwa kita ingin mendunia. Akan tetapi, momennya yang sangat tidak tepat. Selain itu, lihatlah Jepang, Korea, China, apakah mereka bukan bangsa yang maju? Mereka  disegani karena mereka bangsa yang punya pendirian, kukuh berpijak pada budaya bangsanya, pada bahasanya.
Memperingati Sumpah Pemuda [baca: Bulan Bahasa] pada hakikatnya merekonstruksi ingatan kita pada peristiwa besar dalam perjalanan bangsa ini. Bukan sekadar sebuah ritual upacara yang kemudian hilang tak berbekas. Ada nilai-nilai, ruh, semangat, yang mesti kita petik dari peristiwa besar itu. Mampukah kita kemudian  menjadikannya sebagai pijakan dalam menapaki perjalanan bangsa ini.
Memaknai peringatan Sumpah Pemuda yang ke-87 ada baiknya kita cerahkan kembali diri kita semua. Sebab, pada hakikatnya kata pemuda di situ tidak mengkhususkan hanya pada anak muda, melainkan siapa pun yang berjiwa semangat muda. Siapa pun yang berjiwa muda dan mau maju harus mengambil spirit sumpah itu.
Akhirnya, apa pun sumpah kita. Ia tidak akan bermakna tanpa karya nyata. Ingatlah Allah menagih sumpah kita.

Renungan bakda subuh, 26 Oktober 2015

7 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Pak, blog baru saya " fajarapriliani.blogspot.com ".
    Yang kemarin diganti.
    Fajar X MIA 5

    BalasHapus
  3. Pak, saya Novi Lili Utami X MIA 3
    novilili15.blogspot.com

    BalasHapus
  4. Pak, saya Annisya Nurul Hidayah X MIA 4
    annisyahidayah04.blogspot.co.id

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Pak saya Masfufah X MIA 4 ABSEN 17
    alamat blog : msfufah.blogspot.co.id

    BalasHapus
  7. paksaya sekar X MIA 4
    nama blog: sekaraliyah.blogspot.com

    BalasHapus

KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...