PERINGATAN BULAN BAHASA, SEBUAH IRONI
(oleh Sartono Jaya)
qÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# öNä3s9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ
Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (Al Maidah: 80)
“Kami putra dan putri
Indonesia MENJUNJUNG bahasa persatuan, BAHASA INDONESIA.”
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan
yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam ikrar
ke-3 Sumpah Pemuda 1928 “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.” Kemudian dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV
(Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36
menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Jadi, bangsa ini telah
sepakat dengan penuh kesadaran menahbiskan
bahasa Indonesia sebagai bahasa kebanggaan yang harus dijunjung tinggi oleh
masyarakat Indonesia.
Memperingati Sumpah Pemuda dalam
konteks di atas pada hakikatnya adalah memperingati Bulan Bahasa, bulan di situ
kita harus berbangga berbahasa Indonesia. Modernitas, kemajuan, globalisasi,
atau apa pun namanya tidak boleh menjadikan kita gamang terhadap bahasa kita
sendiri. Sungguh sebuah ironi ketika sebuah momen peringatan Bulan Bahasa, kita
justru mencampakkan bahasa yang kita peringati, membungkuk-bungkukkan badan,
dan menjunjung-junjung tinggi bahasa asing di atas kepala kita. Sebagai contoh
jelas terpampang di depan mata kita spanduk The
Language Day and 36th Anniversary of Bla-bla...
adalah sebuah ironi yang menohok-nohok sanubari kita.
Lho, itu kan bahasa internasional dan
kita kan ingin go internasional? Di situlah
kita mulai keblinger. Semua orang
pasti setuju bahwa kita ingin mendunia. Akan tetapi, momennya yang sangat tidak
tepat. Selain itu, lihatlah Jepang, Korea, China, apakah mereka bukan bangsa
yang maju? Mereka disegani karena mereka bangsa yang punya pendirian, kukuh berpijak pada
budaya bangsanya, pada bahasanya.
Memperingati Sumpah Pemuda [baca:
Bulan Bahasa] pada hakikatnya merekonstruksi ingatan kita pada peristiwa besar
dalam perjalanan bangsa ini. Bukan sekadar sebuah ritual upacara yang kemudian
hilang tak berbekas. Ada nilai-nilai, ruh, semangat, yang mesti kita petik dari
peristiwa besar itu. Mampukah kita kemudian
menjadikannya sebagai pijakan dalam menapaki perjalanan bangsa ini.
Memaknai peringatan Sumpah Pemuda
yang ke-87 ada baiknya kita cerahkan kembali diri kita semua. Sebab, pada
hakikatnya kata pemuda di situ tidak
mengkhususkan hanya pada anak muda, melainkan siapa pun yang berjiwa semangat
muda. Siapa pun yang berjiwa muda dan mau maju harus mengambil spirit sumpah
itu.
Akhirnya, apa pun sumpah kita. Ia
tidak akan bermakna tanpa karya nyata. Ingatlah Allah menagih sumpah kita.
Renungan bakda subuh,
26 Oktober 2015
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak, blog baru saya " fajarapriliani.blogspot.com ".
BalasHapusYang kemarin diganti.
Fajar X MIA 5
Pak, saya Novi Lili Utami X MIA 3
BalasHapusnovilili15.blogspot.com
Pak, saya Annisya Nurul Hidayah X MIA 4
BalasHapusannisyahidayah04.blogspot.co.id
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak saya Masfufah X MIA 4 ABSEN 17
BalasHapusalamat blog : msfufah.blogspot.co.id
paksaya sekar X MIA 4
BalasHapusnama blog: sekaraliyah.blogspot.com