Mencari Wajah
Tersembunyi di Balik Meja
(oleh Haryo Swandaru)
“Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika ia baik
maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ia
adalah hati.”
Setiap kali menyusuri deret meja
siswa di setiap kelas ada sesuatu yang ngeri-ngeri sedep. Ngeri? Ya kalau
dibiarkan berkelanjutan hal ini bisa saja berefek lebih tragis dari korban
susur sungai yang menimpa saudara-saudara pelajar kita di Turi, Sleman,
Yogyakarta itu. Sedep, ya karena kadang-kadang bikin kita menahan gelak tawa
sendiri.
Ada apa sih dengan meja-meja siswa
kita sekarang, kok bikin ngeri-ngeri sedep? Di sekolah ini hampir menjadi
kelangkaan menemui meja siswa yang bersih dari tulisan. Persentase meja yang sudah
dicorat-coret bisa separuh lebih, bahkan 2/3. Ini artinya sudah lampu merah
karena siswa sudah terpapar vandalisme.
Ada beragam hasil kreativitas
tangan-tangan jahil ini. Dari yang biasa-biasa, seperti rumus-rumus kepekan
ulangan. Ungkapan-ungkapan hati, seperti I
love
you Ulin, kamu
cantik tapi ganas, hingga pisuhan-pisuhan tidak senonoh yang
sebenarnya tidak layak diproduksi oleh anak-anak sekolah, semacam kowe koyo kebo,
bangsat, cebleng, segawon, dan sejenisnya.
Kosa kata yang berkelindan dengan dunia perhewanan dan semacam itu kalau menjadi
ujaran yang permisif di sebuah sekolah, sebuah komunitas yang mengaku beradab, berarti
ada sesuatu yang sakit. Supaya tidak menimbulkan bencana yang mewabah seperti
virus Corona, hal ini perlu segera diobati.
Mengobati virus vandalisme yang sudah stadium
4 ini, tidak bisa hanya dengan mengecat kembali meja-meja yang menjadi korban
mereka. Tampak sepintas menyembuhkan, tetapi wabah itu akan segera muncul
kembali. Sebab, aktor-aktornya masih bergentayangan di sekitar TKP. Oleh karenanya,
obat yang mujarab adalah dengan menangkap mereka, para pelaku vandalisme ini.
Menemukan para pelaku vandalisme ini bukan
perkara mudah. Sebab, mereka ini bukan anak-anak biasa yang lugu. Mereka punya
pengaruh di sekolah, terutama komunitas yang merasa super. Jangan harap kalau
kita mencurigai mereka, lantas mereka terus mengakui sebagai pelakunya. Mereka sangat
lihai beralibi untuk membela diri. Namun, bagi seorang interogator ulung
alibi-alibi mereka justru makin menguatkan bahwa merekalah suspect tersangka.
Sesuatu yang terlahir adalah cerminan yang ada
di dalam hati kita. Kaitannya dengan masalah pelaku vandalisme meja ini. Sebenarnya
tidak terlalu sulit menemukan pelakunya. Misalnya, tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan ucapan-ucapan tidak senonoh dan perhewanan. Untuk mengidentifikasi
pelakunya, dengar saja di situ siapa saja, siswa mana yang sering memroduksi
ujaran tersebut. Katakanlah, misalnya si Ekawanti atau Aghis dan kelompoknya, acapkali
bersinggungan dengan kata-kata segawon,
bangsut, wedus, dan sejenisnya. Berarti
tidak jauh dari mereka pelakunya. Dengan demikian, sangat tidak tepat misalnya kita mencurigai anak-anak seperti Dimas, Dhavi, yang kesehariannya bersih dari produksi ujaran perhewanan.
Jadi, siapa yang bersembunyi di balik meja itu sebenarnya sudah gamblang. Wajah-wajah itu berkorelasi positif dengan rupa meja yang ditempatinya. Yang mejanya bures, urek-urekan, maka yang menempatinya pun tidak jauh dari itu. Oleh karena itu, sudahilah perbuatan vandalisme yang
sebenarnya menurunkan derajat kita sendiri, baik di hadapan sesama siswa maupun
di hadapan Allah Yang Mahatahu.