Rabu, 26 Februari 2020

ESAI


Mencari Wajah Tersembunyi di Balik Meja
(oleh Haryo Swandaru)

Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasad, ia adalah hati.”



  
Setiap kali menyusuri deret meja siswa di setiap kelas ada sesuatu yang ngeri-ngeri sedep. Ngeri? Ya kalau dibiarkan berkelanjutan hal ini bisa saja berefek lebih tragis dari korban susur sungai yang menimpa saudara-saudara pelajar kita di Turi, Sleman, Yogyakarta itu. Sedep, ya karena kadang-kadang bikin kita menahan gelak tawa sendiri.
Ada apa sih dengan meja-meja siswa kita sekarang, kok bikin ngeri-ngeri sedep? Di sekolah ini hampir menjadi kelangkaan menemui meja siswa yang bersih dari tulisan. Persentase meja yang sudah dicorat-coret bisa separuh lebih, bahkan 2/3. Ini artinya sudah lampu merah karena siswa sudah terpapar vandalisme.
Ada beragam hasil kreativitas tangan-tangan jahil ini. Dari yang biasa-biasa, seperti rumus-rumus kepekan ulangan. Ungkapan-ungkapan hati, seperti I love you Ulin, kamu cantik tapi ganas, hingga pisuhan-pisuhan tidak senonoh yang sebenarnya tidak layak diproduksi oleh anak-anak sekolah, semacam kowe koyo kebo, bangsat, cebleng, segawon, dan sejenisnya. Kosa kata yang berkelindan dengan dunia perhewanan dan semacam itu kalau menjadi ujaran yang permisif di sebuah sekolah, sebuah komunitas yang mengaku beradab, berarti ada sesuatu yang sakit. Supaya tidak menimbulkan bencana yang mewabah seperti virus Corona, hal ini perlu segera diobati.
Mengobati virus vandalisme yang sudah stadium 4 ini, tidak bisa hanya dengan mengecat kembali meja-meja yang menjadi korban mereka. Tampak sepintas menyembuhkan, tetapi wabah itu akan segera muncul kembali. Sebab, aktor-aktornya masih bergentayangan di sekitar TKP. Oleh karenanya, obat yang mujarab adalah dengan menangkap mereka, para pelaku vandalisme ini.
Menemukan para pelaku vandalisme ini bukan perkara mudah. Sebab, mereka ini bukan anak-anak biasa yang lugu. Mereka punya pengaruh di sekolah, terutama komunitas yang merasa super. Jangan harap kalau kita mencurigai mereka, lantas mereka terus mengakui sebagai pelakunya. Mereka sangat lihai beralibi untuk membela diri. Namun, bagi seorang interogator ulung alibi-alibi mereka justru makin menguatkan bahwa merekalah suspect tersangka.
Sesuatu yang terlahir adalah cerminan yang ada di dalam hati kita. Kaitannya dengan masalah pelaku vandalisme meja ini. Sebenarnya tidak terlalu sulit menemukan pelakunya. Misalnya, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ucapan-ucapan tidak senonoh dan perhewanan. Untuk mengidentifikasi pelakunya, dengar saja di situ siapa saja, siswa mana yang sering memroduksi ujaran tersebut. Katakanlah, misalnya si Ekawanti atau Aghis dan kelompoknya, acapkali bersinggungan dengan kata-kata segawon, bangsut, wedus, dan sejenisnya. Berarti tidak jauh dari mereka pelakunya. Dengan demikian, sangat tidak tepat misalnya kita mencurigai anak-anak seperti Dimas, Dhavi, yang kesehariannya bersih dari produksi ujaran perhewanan.
Jadi, siapa yang bersembunyi di balik meja itu sebenarnya sudah gamblang. Wajah-wajah itu berkorelasi positif dengan rupa meja yang ditempatinya. Yang mejanya bures, urek-urekan, maka yang menempatinya pun tidak jauh dari itu. Oleh karena itu, sudahilah perbuatan vandalisme yang sebenarnya menurunkan derajat kita sendiri, baik di hadapan sesama siswa maupun di hadapan Allah Yang Mahatahu. 

1 komentar:

  1. Yang pasti bukan saya karena untuk hanya sekedar memegang tipex pun saya harus berjuang melawan kegalakan jevani pak

    BalasHapus

KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...