Selasa legi, 7 Maret tahun 2007, tepat pukul 07.00, Birman
dipanggil Tuhan. Orang-orang datang melayat, memberi penghormatan terakhir bagi
Birman sebelum dia diantar ke kampung kehormatan.
Orang-orang tidak mengira, Birman yang muda dan ganteng itu
mati muda. Padahal embahnya yang sudah berumur 92 tahun masih bugar. “Kasihan
dia, belum kawin sudah meninggal, “celetuk seorang teman almarhum.
“Apa hubungannya antara kawin dengan mati muda?” tanya Oghi
sambil berbisik-bisik.
“Hus bego amat kamu! Ya, jelas belum merasakan surga dunia, “
jawab temannya sambil mendekatkan jari telunjuk di depan mulutnya.
Tepat pukul 13.00, jenazah Birman siap diberangkatkan.
Upacara pemberangkatan pun dimulai. Pak modin maju menuju sound. “Para pelayat
semuanya yang saya hormati, untuk terakhir kalinya saya minta kesaksian apakah
semasa hidupnya Birman ini baik atau baik? Sampai diulang tiga kali, yang
langsung ditimpali sebagian besar pelayat dengan koor “baiikk”. Hanya
teman-teman almarhum sendiri yang kelihatan kurang percaya.
Jenazah dimasukkan ke liang lahat dan dan semua pelayat
pulang.
“Jeddaar!” Malaikat penjaga kubur datang menghentakkan
kakinya. sambil bertanya “man rabbuka?”
Birman kaget seketika dan dari mulutnya ceplos “… “. Tiba-tiba
teriakan kesakitan melingking panjang keluar dari mulut Birman. Malaikat baru
saja memukulkan gada sebesar pohon pisang ke dada Birman. Birman yang telah tak
berbentuk menyembah-nyembah malaikat.
“Aduuuuh, ampuuun! Maafkan hamba. Kemudian malaikat
mengajukan pertanyaan lagi sambil menggertak “Man nabiyuka?”
“Ce … .” Belum selesai jawaban, sebuah pukulan gada sebesar pohon pisang kembali
menggepengkan tubuhnya yang sudah kerempang. Sekarang tubuh Birman persis
seperti kerupuk yang dijemur.
“Apakah kamu di sekolah tidak pernah diajari agama?”
“Pernah, Malaikat.”
“Siapa nama guru agamamu?”
“Pak Basyir, “jawab Birman sambil memegangi lutut malaikat.
“Apakah ada guru lain, yang mengajarimu kebaikan? Jawaaab!”
sambil melepaskan kakinya dari pelukan Birman dengan kasar.
“Ada, Mmma malaikaat, “sambil berusaha bangun.
“Siapa namanya!” bentak malaikat.
“Pak Sartono."
"Pak Sartono yang mana?" Di dunia ini banyak Sartono!"
"Sartonoo Jaaayyyaaa.”
“Apakah mereka, para gurumu, pernah mengajarimu berkata-kata
yang tidak senonoh?”
“Tii … daak, Malaikat. Sumpah tidak!”
“Lalu siapa yang mengedrill mulutmu ini sehingga sangat fasih
dengan kosa kata itu, “ sambil menampong mulut Birman dan Birman pun gelangsaran.
Mengapa engkau tidak meniru ajaran gurumu atau teman-temanmu seperti Monita,
Soleha, Hanif, Rivanda untuk berkata-kata yang baik. Akan tetapi, engkau justru
meniru, Oghi, Moko, Purnomo, kelompok orang-orang yang kurang ajar itu. Ingat
mereka pun kalau mulai sekarang tidak mau berubah, sudah kusiapkan gada pemukul
sebesar pohon kelapa. Biar sekali tebas langsung hancur.
“Masih ingatkah ketika hatimu kesal ataupun kamu lagi marah
mulutmu mengucapkan apa?” “Ayo Jawaaab!”
“As…, “Malaikat.”
“Masih ingatkah ketika kau kesandung, kata apa yang paling
sering kau ucapkan?” “Ayo Jawaab!”
“Ce…., “Malaikat. Bess, secepat kilat tamparan malaikat
membuat mulut Birman berdarah-darah.
“Ampuun, Malaikat, beri kesempatan kepadaku untuk bertobat.
Sekarang aku ingin menghiasi mulutku dengan ucapan-ucapan yang bagus. Aku juga
akan berdoa semoga teman-temanku, Oghi, Moko, dan lain-lain segera bertobat dan
tidak menjadikan hewan-hewan itu sebagai piaraan yang menghiasi mulutnya.
“Semuanya sudah terlambat!
Berdoalah saja untuk dirimu sendiri.”