Tuhan, Tahan Dia Tetap di Sana
(oleh Sartono Jaya)
Gerimis mengiris pagi buta. Tempias
titik-titik air menyusup di sela-sela teralis kamar. Aku beringsut bangun.
Kusingkap ujung korden jendela yang sudah menipis ke arah kanan. Pelan sekali agar tak
membangunkan istriku. “Tidurlah nyenyak istriku, aku tahu tadi kau baru bisa
tidur di atas tengah malam. Itu pun tak lelap, “kataku dalam hati. Aku segera
menuju ke belakang. Aku ambil air minum hangat satu gelas sebelum ke kamar
mandi. Itu kebiasaan yang rutin kulakukan atas saran grup WA. Minum air hangat
sebelum berhajat kecil katanya merupakan detok murah dan alami.
Setelah mandi dan mengambil air wudu,
aku segera menuju ke bilik pesalatan yang berjarak hanya tiga langkah dari kamar mandi. Mandi pagi bangun tidur sebelum beraktivitas memang menjadi
kebiasaanku sejak dulu. Ternyata kebiasaan itu amat banyak membantuku sehingga
aku jarang terlambat ke kantor. Sebab, aku punya kebiasaan kalau sudah di depan
komputer bisa lupa segalanya. Belum lagi jika ada urusan-urusan kemasyarakatan
yang tidak bisa kutolak. Dalam beberapa waktu, sering ada tamu yang datang tak
diundang atau santri pondok yang ada urusan super darurat, datang tidak tepat
waktu. Mereka datang di jam mepet aku harus ke kantor. Namun, semua mesti
kulayani dengan sepenuh hati.
Di takbiratul ihramku yang kedua istriku sudah menyusul. Ia mengambil tempat di sebelah
kiriku. Titik-titik air hujan di luar membuat munajat kami semakin syahdu. Di
antara sujud-sujud panjang kami, deleweran air mata tumpah tak tertahankan.
“Ya Allah, lindungan kami, keluarga
kami, anak-anak kami, dan dia. Berikan yang terbaik untuk dia. Tahan dia tetap di sana, kami orang tuanya tak mampu
menahannya. Hanya Engkau yang kuasa, ya Rabb.”
Usai menyelesaikan rekaat-rekaat sunah,
kami istirah menunggu waktu subuh. Aku merebah di pangkuan istriku. Pelan-pelan
istriku melepaskan kopiah yang ada di kepalaku. Tangannya yang terbungkus
mukena dengan lembut memijit-mijit keningku. Ada kedamaian yang teramat dalam
di sini. Di pangkuan wanita, seorang lelaki akan menemukan kedamaian,
ketenangan. Maka, wajarlah jika sang Fatih, Muhammad, bersandar di pangkuan
Hadija, wanita mulia, kala beliau sedang galau.
“Abi, sudah ada kabar tentang Mas Fatih? “ tanya istriku tiba-tiba.
“Belum, kalau ada kabar pasti sampai ke
Umi juga, “ jawabku.
Istriku menghela nafas panjang. Raut
mukanya terlihat jelas menyimpan duka. Aku tak berani menatapnya lama-lama.
Sebenarnya aku menyimpan perasaan yang tidak berbeda dengan istriku. Benakku
juga gundah, tetapi aku ingin tetap sebagai seorang lelaki, seorang bapak dari
dua anak, yang tidak boleh cimen di
hadapan wanita.
“Semoga dia diberi kesabaran di sana
sampai selesai, “ lanjut istriku.
“Ya, kita terus memohon pertolongan-Nya.
Semoga Allah mengabulkan pinta kita, “ sahutku sambil merangkulnya. Tak terasa
air mata kami tumpah lagi berdeleweran menuruni pipi kami yang mulai mengerut
dimakan usia.
Kumandang azan subuh terdengar dari
masjid sebelah rumah. Aku bangkit dari rebahan. Aku peluk dada istriku yang
terhijab mukena. Dada yang telah memberi hidup anak-anakku. Dada yang telah
memberi kedamaian sekaligus kehangatan padaku sebagai seorang suami. Aku segera
berbegas ke masjid sebelum istriku mengusirku dengan caranya yang aku suka. Dalam hal ini, istriku punya kebiasaan aneh. Ia selalu
peluk aku erat-erat kemudian bisikkan kata yang membuat aku segera bergegas
pergi. “Lelaki sejati akan berusaha mati-matian salat di masjid meskipun dia
harus merangkaknya.”
***
Selasa, 2 Januari 2018, aku berangkat ke
kantor setelah libur semesteran. Hari pertama yang identik dengan hari santai,
jam kosong, tidak berlaku bagiku. Setumpuk pekerjaan yang tidak berhasil
kutuntaskan di akhir tahun 2017 sudah antre harus kurampungkan. Laporan BOS,
BOP, rehab RKB, hampir menyita separo file kepalaku. Inilah yang sering
membuat tugas utamaku mengajar menjadi terlantar. Belum lagi dengan masalah
kuitansi yang sering membuat hati ini di persimpangan, antara mematuhi sistem
atau melawan hati nurani. Semoga segera ada regulasi yang bisa menolong para pemegang uang dari pembijaksanaan berkesinambungan.
Kebetulan hari ini aku mengajar di empat jam terakhir, 7 – 10. Kumanfaatkan jam-jam awal untuk kejar tayang pekerjaan. Satu jam pelajaran, aku sudah duduk di depan komputer. Satu laporan BOP sudah
berhasil kuselesaikan. Otakku mulai lemot untuk melanjutkan ke pekerjaan
berikutnya. Kuambil Tab dan kubuka. Kuketuk tombol WA. Ada ratusan kiriman yang
masuk dari puluhan pengirim yang masuk. Semua kuabaikan. Kugerakkan
telunjuk tangan di layar. Aku mencari barangkali ada kiriman dari anakku.
“Abi, aku mau ngomong ... “ Terlihat
tulisan singkat dari chat Fatih.
Waduh sudah 15 menit yang lalu. Aku segera menghubunginya. Ya, Allah semoga dia
masih aktif atau minimal di dekat gawainya.
“Ya, ada apa, anak lanang, “ kutulis
jawaban lalu kukirim.
Lama tak ada jawaban. Tanda OL-nya
di-hiden. Aku menyesal sekali tidak sedari tadi membuka Tab atau paling
tidak bekerja sambil membuka gawaiku. Dengan begitu, tidak seperti ini
kejadiannya. Aku cemas menunggu kabar dari anakku, Fatih.
Aku jadi teringat peristiwa hampir tujuh
tahun yang lalu. Waktu itu, kami berdelapan (aku dan istri, ayah Fadil, ayah
Zidni, ayah Osama, ayah Alan Zuhaer, ayah Hamzah, Umi Faiqoh, dan umi Hani)
berkonvoi dari Magelang menuju Kuningan, Jawa Barat. Waktu itu, anak-anak masih
kecil, masih culun-culun. Mereka kami
antar untuk mengikuti tes seleksi masuk di pondok pesantren, di Kuningan.
Alhamdulillah, dua minggu setelah tes, kedelapan anak-anak kami dinyatakan
diterima. Akhir Juni 2011, semua santri harus sudah diantar dan tinggal di
pesantren.
Hari pertama kami mengantar anak-anak ke
pondok merupakan hari yang tidak terlupakan. Hujan tangis mewarnai perpisahan
kami dengan anak-anak. Memang aku tidak menangis, tetapi hari itu dadaku sesak
tak kuat menahan haru. Hari-hari pertama, minggu pertama, bulan pertama,
merupakan hari perjuangan kami sebagai orang tua. Siang malam bagi kami adalah
doa yang tak putus bagi anak-anak kami.
Sebenarnya mukjizat juga bagiku, tak
mengira anak yang kedua ini mau mondok. Anak laki-lakiku adalah anak yang keembok-emboken.
Katakanlah anak umi. Ya kami ingat betul, bagamana setiap pulang sekolah, baru
sampai di pintu, setelah salam, dia berteriak, “Umiiii! “ sambil menghambur ke
pelukan istriku. Meski sudah kelas 6 SD, setiap pulang sekolah atau uminya
pergi, ia masih melakukan itu. Menghambur, memeluk erat, menciuminya
berkali-kali, kemudian menyembunyikan kepalanya di dada uminya.
“Mas Fatih, kamu mau mondok di mana?
Gontor Jawa Timur, Krapyak Yogyakarta, atau yang dekat saja di Magelang? “ tanyaku setelah pulang dari salat berjemaah
di masjid.
“Apa harus mondok? “ anakku balik
bertanya.
“Ya, nggak, tetapi kalau mondok kan
lebih baik, “ aku menimpali.
Melihat anakku tak merespons, aku tak
melanjutkan pembicaraan. Kuakui masuk pondok adalah inisiatifku. Pengalamanku mengajar puluhan tahun
di sekolah negeri membuatku harus mengambil sikap. Cukup sudah, anakku tidak
boleh di situ. Di sini aku tidak bisa “memaksa” siswa-siswaku untuk melakukan
salat berjemaah meskipun itu jelas diharuskan sekolah. Saya dan kami para guru
hanya dapat sebatas mengimbau. Sampai di situ saja, titik. Pernah kami agak
marah karena para siswa tidak segera ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat
padahal waktu khutbah hampir dimulai. Ternyata kami malah seperti orang kenthir sendiri. Jawaban mereka sungguh
membuat kami ingin menggamparnya.
“Salat hak asasi, nggak salat juga hak
asasi, Pak. Nanti saja, kami menyusul, “ timpal mereka sambil seslengekan.
Kutinggalkan mereka menuju ke masjid.
Tanganku terus mengepal-ngepal, sementara mulutku terus beristigfar. Sejak itu,
aku tekadkan anakku tidak boleh masuk sekolah negeri. Aku takut pemikiran
liberal sekuler meracuni anakku.
“Mas Fatih, besok kita ke Gontor, yuk, “
pintaku merajuk.
“Apa aku harus ikut? “ tanyanya singkat.
“Ya, iyalah, umi juga ikut. Nanti di
sana kita ketemu Dik Arman, putra Om Didik. Insya Allah, kita nginep. Di
Gontor, kami hanya menginap satu malam. Datang pagi menjelang, kami langsung
melihat-lihat kawasan Gontor. Subhanallah, kami takjub akan kehebatan Gontor. Namun,
aku melihat Fatih tak begitu antusias.
Ia biasa-biasa saja.
“Bagaimana menurut Mas Fatih, pondoknya
“ tanyaku memancing.
“Ya, begitulah, “ jawabnya mengambang.
Sebagai ayah, aku sudah memahami arti jawaban pendek itu. Pagi-pagi bakda
subuh, kami pulang dengan tangan hampa. Dalam perjalanan pulang, sekali-sekali
kulihat wajah istriku. Ia tetap tenang, meski ada raut kecewa.
“Abi, sudah, yang mau nglakoni
dia, bukan kita, “ kata istriku pelan. Sementara anakku tertidur lelap di jok
belakang.
“Ya, Mi, Ahad depan, kita coba ke salah
satu pesantren di Kabupaten Magelang. Beberapa ustaznya aku kenal.
Mudah-mudahan anak kita cocok.”
“Boleh, terserah Abi saja. Kalau cocok
alhamdulilah, tidak usah jauh-jauh. Sewaktu-waktu kangen, kita bisa
menjenguknya, “ jawab istriku dengan nada tidak yakin.
Ahad, 6 Maret 2011, pukul 10 pagi, kami
sudah sampai di pelataran Boarding School SMA Islam Terpadu Pabelan,
Magelang. Bangunannya masih relatif baru. Sisa-sisa material masih tampak
menumpuk di sisi kanan belakang asrama. Panas matahari terasa sekali. Di sini
belum banyak tetumbuhan. Aku turun dari
mobil menemui beberapa pengurus pondok. Kugali sejumlah informasi untuk
keperluan anakku. Aku pun menemui sejumlah santri yang bergerombol di depan
kelas. Cukup banyak informasi yang dapat kukumpulkan dari mereka, dari mana
mereka, siapa mereka, latar belakang orang tuanya.
Aku menengok ke arah mobil. Kulihat
anakku tak beranjak dari sana. Aku mendekat.
“Ayo, keluar. Kita lihat-lihat, habis
itu kita ketemu ustaz, “ kataku meminta. Anakku kembali tak merespons. Istriku
mengerdipkan mata memberi isyarat. Aku langsung paham. Untuk kali keduanya, kami pulang dengan tangan
hampa.
***
“Umiiii, “ seru anakku dari pintu
tengah.
“E, e, jangan lupa, salam dulu, “ kataku
yang berada di ruang dekat pintu.
“Assalamualaikum, Umi, Abi, “ timpalnya
dengan nada yang tidak biasa, berbinar-binar.
Seperti biasa dia segera memburu uminya.
Mencium tangannya, menenggelamkan wajahnya di dada uminya lama-lama. Baru
setelah itu dia menghampiriku untuk cium tangan.
“Abi, aku sudah daftar sekolah di pondok
Kuningan, namanya Husnul Khotimah (HK). Besok tanggal 22 – 23 Maret 2011, aku
tes, “ kata anakku semangat.
“Kuningan, Jogja? “ tanyaku.
“Bukan, Kuningan Jawa Barat, “ jawab
anakku sambil duduk dan melepaskan kaos kakinya.
“Jauh banget, sama siapa? “ tanyaku
setengah tak percaya.
“Abi tenang saja. Pokoknya sama
teman-teman aku. Delapan anak lho, Bi, yang ikut: Fadil, Osama, Alan Zuhaer,
Zidni, Hamzah, Hana, Faiqoh, “ kata anakku nerocos.
“Ya, ya, tapi itu jauh “ jawabku menguji
sengaja ingin tahu responsnya.
“Gak apa-apa. Besok setelah dari
Kuningan, aku akan sekolah lebih jauh lagi. Aku akan kuliah di Mesir. Abi gak
usah mikirin biaya, aku akan cari beasiswa biar bisa gratis.”
Alhamdulillah, dari delapan anak yang
mendaftar tujuh anak diterima. Satu di antaranya adalah Fatih, anakku. Kami
bersyukur Allah mengabulkan doa kami siang malam. Sebulan kemudian, kami baru tahu kekuatan apa yang
membuat Fatih berhasrat mondok. Ternyata ada lima mahasiswa Al Azhar, alumni sekolah anakku, datang ke sekolah. Kelima mahasiswa beasiswa yang sedang libur semester itu diundang sekolah untuk berbicara di hadapan
murid kelas 6. Oh, ternyata, Allah punya cara yang indah membolak-balik hati
hambanya.
Bulan pertama, kedua, ketiga sampai
tahun pertama adalah masa perjuangan bagi kami. Istriku sering diserang sakit
kangen anak. Pernah kulihat semalaman dia tidak tidur. Berkali-kali ia
memelukku erat-erat. Aku biarkan dia memperlakukanku sebagai anaknya. Kalau
sudah begitu, aku tak bisa menahan istriku. Esoknya dia akan menuju HK bersama ibu-ibu lainnya yang juga punya problem sama:
kangen anak. Kangen anak adalah “penyakit” para orang tua santri baru. Sementara
ujian yang dialami para santri di antaranya pilek, flek kambuh, dan yang paling
menjengkelkan adalah scabies.
Waktu itu di tahun kedua Fatih mondok, berarti sudah kelas 2 MTs.
Sehabis isya, ada telepon dari wali santri.
“Assalamualaikum, betul ini Abi Yahya,
abinya Fatih, kamar Ali bin Abi Thalib, dari Magelang, “ suara dari HP-ku.
“Waalaikumsalam warahmatullah …, ya
betul, saya sendiri. Maaf ini siapa ya? “ tanyaku menyelidik.
“Ini, saya Pak Hamid, wali santri kelas 8 B, mau mengabarkan Fatih, putra Bapak.
“Ya, Ustaz, Fatih kenapa? “tanyaku mulai
tidak tenang.
“Mas Fatih, terkena scabies, tolong
dijemput. Pondok mengizinkan untuk sementara dirawat di rumah dulu sampai
sembuh.
Menjemput anak malam-malam begini? Tak
mungkin. Jarak Magelang – HK, lumayan jauh. Bisa delapan jam tempuh dengan kendaraan
pribadi. Setelah berunding dengan istriku, akhirnya kami minta tolong Ustaz
Hamid untuk mencarikan travel menuju Magelang atau Yogya malam itu juga.
Alhamdulillah, persoalan tertangani. Berkat bantuan Ustaz Hamid, anakku pulang
naik travel jurusan Jogja. Kami menjemputnya di Alun-alun di Purworejo.
Istriku menangis melihat Fatih turun
dari mobil jalan mengangkang. Rupanya gudik sudah menyerang hampir semua
persendian tubuh anakku. Kami memeluknya erat-erat. Istriku memapahnya menuju mobil yang
kuparkir. Tak sabar, kubopong Fatih. Istriku setengah berlari sambil membawa
tas Fatih menuju ke pintu mobil. Kami langsung pulang ke Magelang.
“Mas Fatih, nanti malam, kita ke dokter
spesialis kulit di Pecinan. Sakit seperti ini bisa lama. Paling tidak sebulan baru bisa sembuh
total.”
“Sebulan? Nggak mau, nanti ketinggalan
pelajaran. Pelajarannya banyak dan sulit-sulit. Aku juga nggak mau ketinggalan
setoran hafalan, “ jawab Fatih memprotes.
Alhamdulillah, jawaban itu membuat aku lega. Mungkin ada benarnya kata mbah
kakung bahwa untuk menjadi santri sejati harus gudiken dulu. Dua
pekan Fatih berada di rumah. Penyakitnya sudah berkurang. Scabiesnya sudah
kering, tinggal bekas-bekas hitam, terutama di bagian lipatan-lipatan tubuhnya.
Aku sudah pesankan tiket travel ke Kuningan sesuai permintaannya. Kubawakan
bekal obat-obatan penangkal penyakit kulit dan sejumlah suplemen kesehatan.
Istriku menceramahi panjang tentang kebersihan untuk bekal pulang.
Empat tahun kemudian, 10 September 2015, selepas pulang isya berjemaah di masjid dekat rumah,
suara telepon dari HP-ku berbunyi.
“Assalamualaikum …, “ suara dalam
telepon menyapaku.
“Waalaikumsalam warahmatullah …, “
jawabku. Samar-samar aku mengenal suara itu. Ustaz Haris, wali kelas anakku, di
kelas XII IPA 1, Aliyah HK.
“Ini abinya Fatih, ya? Alhamdulillah,
selamat, Pak! Ikut bangga, Fatih putra Bapak.”
“O, ya terima kasih Ustaz. Memangnya,
Fatih ada apa?” balik aku bertanya antara senang dan bingung. Senang mendapat
selamat, tapi selamat tentang apa, aku jadi menduga-duga. Juara kelas? Itu sudah
biasa, tetapi raporan kan masih nanti akhir Desember.
“Bapak, Fatih tadi malam, Pak, “
suaranya agak terputus.
“Ya, ya, suara agak terputus Ustaz, sekarang sudah nyambung lagi. Ada apa dengan anak saya,
Ustaz? “ aku jadi tidak sabar ingin segera mengetahui jawabannya.
“Bapak, Fatih sudah menyelesaikan
setoran hafalan terakhir, juz 29, di hadapan Dewan Penguji. Masya Allah, alhamdulillah, lancar, sukses. Putra
Bapak sekarang sudah menjadi hafiz Quran 30 juz, “ terang Ustaz Haris.
Mataku berkaca-kaca mendengar berita
ini. Kusampaikan terima kasih kepada Ustaz Haris yang telah memotivasi anakku
di akhir pembicaraan telepon. Aku segera menceritakan berita gembira ini pada
istriku. Kutelepon juga pada anak perempuanku yang sedang menempuh profesi di Unair Surabaya tentang berita
gembira ini. Istriku memelukku erat sambil menangis haru. Kami sujud syukur, Ya
Rabb fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban."
***
Kamis 28 April 2016, aku, istri, Fila, anak pertamaku, dan mbah putri, menghadiri acara wisuda
Fatih. Kami sengaja datang satu hari sebelum hari H supaya bisa istirahat dan
bugar. Kami menginap di rumah Ustaz Hamid. Beliau adalah ustaz pondok yang juga
menyewakan rumah untuk para tamu yang ingin menengok anak-anaknya. Rupanya
Fatih sudah memesan kamar menginap untukku satu bulan sebelum pelaksanaan hari
wisuda. Maklum pada hari-hari wisuda seperti ini, rumah-rumah penginapan di
sekitar pondok habis terisi. Jadi, harus booking minimal satu bulan
sebelumnya.
Kami sampai di penginapan sore hari
menjelang asar. Kami mandi dan istirahat. Meluruskan badan yang capai luar
biasa setelah hampir setengah hari berada di belakang kemudi. Fatih menemui
kami sebentar, hanya 20 menitan. Kemudian ia menghilang. Katanya ada acara persiapan wisuda.
Kumandang azan magrib terdengar jelas
dari tempat kami menginap yang hanya berjarak 200 meteran. Iramanya indah khas
gaya Madinah. Aku ajak istriku salat magrib berjemaah di masjid pondok.
Sementara anak perempuanku menemani mbah putri yang agak kurang enak badan.
Memasuki pintu gerbang pondok, kira-kira 10 meter menuju pondok, terpampang
baliho besar: DAFTAR SANTRI HAFIZ KELAS XII MA HK dengan background samar-samar para santri hafiz.
Ada 29 nama santri hafiz tertulis jelas nama, bin, dan tempat asal. Pandangan kami berhenti sejenak pada nama baris
teratas: Muhammad Fatih Mubarak bin Marsono Jaya dari Kota Magelang. Puluhan orang tua santri mengerumuni baliho besar itu.
Beberapa di antaranya memotretnya dengan gawai yang dibawanya. Pandanganku
terus terpaku agak lama pada baliho besar itu.
Panggilan iqamat dari masjid memisahkan
kami dari baliho besar itu. Bergegas kami menuju masjid. Kami berpisah, istriku
mempercepat langkah menuju tempat salat perempuan yang berada di sisi kiri
masjid. Aku pun bergegas masuk dalam barisan saf laki-laki. Masya Allah, ribuan
jemaah hadir dalam salat magrib ini. Aku hanya berhasil mendapati saf belakang, di luar bangunan utama masjid.
“Allahu Akbar” takbiratul ihram imam terdengar dari mihrab masjid membuat seisi
masjid dalam keheningan.
Lantunan surat Fatihah terdengar merdu
dari sang imam. Dilanjutkan surat Ar Rahman. Masya Allah, qiraat imam membuat
jemaah betah. Alunan iramanya indah sekali, serasa di masjid Nabawi. Rasanya aku mengenal suara itu. Ya, suara itu mirip suara Fatih atau mbah kakung.
Namun, aku masih tak yakin. Di rekaat kedua, setelah Fatihah, imam meneruskan bacaan surat
Ar Rahman di rekaat pertama hingga selesai. Kalimat Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
yang berulang-ulang membuat aku semakin mengenal suara itu, tetapi apa mungkin?
Ah, salatku jadi tidak khusyuk. Bakda salam, aku berdoa cepat. Aku ingin
mengklarifikasi kepenasaranku. Mumpung jemaah masih belum beranjak dari duduk.
Aku berdiri. Kulempar pandanganku ke mihrab. Masya Allah, lelaki kecil yang
duduk menghadap ke arah jemaah itu aku kenal. Terima kasih, ya Rabb. Mataku
berkaca-kaca. Fa-biayyi alaa’I Rabbi kuma tukadzdzi ban, ‘maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’
Allahu Akbar, aku tersadar. Sinyal Tabku bergetar. Aku segera membukanya.
“Abi, … .” Pesan singkat dari Fatih
terlihat dari WA setelah kumenunggu cukup lama. Aku segera menyahutnya. Takut hilang lagi.
“Ya, ya, abi di sini. Menunggu dari
tadi, “ sahutku gugup.
“Aku ingin pindah … .”
“Pindah kos? “ tanyaku khawatir.
“Nggak, pindah kuliah. Di sini, aku
nggak krasan, “ jawab Fatih. Aku tercekat dalam diam. Bayangan wajah anakku
hadir jelas di pelupuk mata. Aku membayangkan Fatih
sedang duduk sendirian.
“Astagfirullah …, ya Rabb, ada apa dengan anakku. Aku minta Engkau tahan dia di
sana. Dinginkan hatinya, kuatkan kakinya. “ Aku terus memohon pada-Nya.
“Istigfar Mas Fatih, coba dipikir
panjang lagi. Ini sudah satu tahun berjalan, “ lanjutku berusaha menenangkan Fatih.
“Sudah, Bi. Sudah lama Fatih ingin
ngomong sama Abi – Umi. Fatih di sini tidak cocok.”
“Apa yang tidak cocok, apa terlalu sulit
kuliahnya? “ tanyaku.
“Abi, di sini banyak yang aneh. Aku tidak
bisa konsentrasi. Hafalanku banyak yang hilang. Aku takut tidak bisa menjaga
amanah sebagai santri hafiz, “ jelas anakku panjang.
“Begini saja, Mas Fatih pindah kos saja
di dekat kampus. Insya Allah, nanti akan ada suasana baru. Insya Allah, Mas
Fatih nanti betah. Allah akan beri pertolongan, abi – umi, Mbak La, mbah uti,
semua berdoa untuk kamu.”
“Nggak, pokoknya aku pingin pindah dari
sini, “ potongnya kekeh.
“La, memangnya mau pindah ke mana?
Kuliah kan beda dengan sekolah. Kamu harus dari nol lagi, “ jelasku hati-hati
menghindari pertengkaran.
“Nggak apa-apa dari awal. Dari dulu yang
kepengin kuliah di sini, kan Abi sama Umi. Sekarang aku nggak betah. Aku pengin
pindah, ” tulis anakku.
“Begini saja, Mas Fatih, kamu
banyak-banyak salat istikarah. Sekarang hampir zuhur, abi mau ke masjid. Habis
ini abi ngajar sampai jam terakhir. Nanti malam, habis isya, kita
ngomong-ngomong lagi.
“Iya, tapi mantap PINDAH dan abi nggak
usah bilang-bilang ke umi.”
“Ya …, nanti malam sajalah.
Assalamualaikum, “ aku mengakhiri pembicaraan.
Aku bergegas menuju ke masjid sekolah untuk salat
zuhur berjemaah. Kuambil air wudu pelan-pelan untuk membasuh kotoran dan najis yang menempel di tubuhku. Aku mendadak merasa banyak dosa. Di sela ruku dan sujudku, aku
terus beristigfar
dan mengadu tentang anakku.
“Ya Allah, jauhkan dia dari was-was,
keterombang-ambingan, sejukkan hati dan pikirannya. Tahan dia di sana. Ampuni
kami, aku dan istriku, karena telah memaksa dia berada di sana. “ Doaku
panjang, tapi tak mampu kuucap. Berhenti di dada bertukar nyeri menusuk-nusuk
ulu hati. Aku merasa bersalah telah
menyorong anakku ke tempat yang membuat ia tersiksa.
***
Setahun lebih yang lalu, saya, tepatnya
kami, kurang mendukung saat Fatih ikut seleksi calon mahasiswa Al Azhar, Mesir.
Mungkin karena merasa tak kami dukung, ia tidak begitu bersemangat dalam
mengerjakan soal-soal tes. Dan, hasilnya gagal. Pun saya yang setengah memaksa
Fatih melepas Prodi Farmasi salah satu PTN di Jawa Tengah meski sudah terpaksa
melunaskan uang kuliah tunggal (UKT) lebih dari enam juta. Kukatakan terpaksa
karena saat itu adalah saat-saat yang sangat dilematis bagi kami. Saat itu
anakku juga mengikuti seleksi mahasiswa STIS di Jakarta. Regitrasi ondesk mahasiswa
baru Prodi Farmasi hampir bersamaan dengan ujian tahap III dan IV mahasiswa
STIS.
Perjuangan anakku masuk STIS menurutku
luar biasa. Di tahap III, anakku mengerjakan Tes Psikotes dari pagi hingga
siang, pukul 07.30 sampai pukul 14.00. Kemudian meluncur ke Senin menuju ke
Semarang untuk registrasi ondeks. Tanpa istirahat, selesai ondesk pukul
13.30, dia langsung balik ke Jakarta lagi karena pagi harinya harus
mengikuti ujian tahap IV, Tes Kesehatan, setelah dinyatakan lulus tahap III.
Pengumuman kelulusan tahap III disampaikan oleh kampus secara online.
Fatih tahu lulus tahap III dari informasi online web resmi
kampus STIS dalam perjalanan menuju Semarang, sore hari bakda magrib.
Saat itu sebenarnya Fatih sudah tidak
mau mengikuti seleksi tahap IV di STIS. Ia sudah merasa cocok di Farmasi.
Teman-temannya dari HK yang diterima di kampus ini cukup banyak, ada puluhan.
“Abi, bagaimana kalau STIS, aku lepas? “
tanyanya lewat WA.
“Tanggung Mas, menurut abi sama umi,
ikuti sampai akhir. Ibarat orang menyeberang kali kamu hampir sampai batas.
Lanjutkan! Perkara Mas Fatih besok mau kuliah di mana, itu masalah gampang, “
jelasku setengah memaksa.
“Kamu ini orang tua kuno, otoriter, suka
memaksakan kehendak.” Suara batinku kadang-kadang protes. “
“Aku tidak memaksa, sekadar mengarahkan
demi kebahagiaan anakku juga,” pikirku membela.
“Memang kamu tahu bahagia itu, apa?
Kuliah, langsung dapat pekerjaan? Bukan, bukan itu!” Pergumulan batin itu
begitu lama. Dan, keputusanku tetap: sesuatu yang istimewa butuh jihad yang
sungguh-sungguh. Empat tahapan tes adalah perjuangan yang tidak main-main
sehingga harus diapresiasi. Bagi orang tua sederhana seperti aku, STIS merupakan tempat
kuliah istimewa. Mahasiswa dapat uang saku Rp1 juta per bulan. Lulus langsung
ditempatkan. Penempatannya paling tidak berada di kabupaten atau kota. Coba
kurang apa?
Biarlah orang mengatakan aku kolot,
bukan orang tua zaman now. Aku
berpandangan laki-laki harus bekerja. Kalau bisa, bekerja layak. Berbeda dengan
anak perempuan, aku menyekolahkan dia tidak untuk mendapatkan pekerjaan. Tujuan
utamaku supaya anakku berilmu, punya kompetensi. Nantinya mau bekerja atau
tidak, bagiku tidak menjadi masalah.
Aku terpaksa melanggar janjiku pada Fatih. Sesampai di rumah,
aku tidak kuat menyimpan rahasia keinginan Fatih pindah dari STIS. Istriku
hanya memandangiku. Aku jadi merasa tambah berdosa.
“Abi, mungkin ini salah kita. Kita terlalu banyak menuntut, “
kata istriku pelan setengah berbisik.
“Tapi, apakah salah jika saya, abinya, menginginkan
pendidikan yang terbaik untuk anak kita, “ jawabku membela diri.
“Abi, tidak salah. Kita juga tidak. Masalahnya yang nglakoni
bukan kita, “ terang istriku meyakinkan, “ coba kita hubungi kakaknya di
Surabaya, insya Allah lebih bisa nyambung.”
Aku menyetujui usul istriku. Aku hubungi Mbak La di Surabaya.
Kuharap anakku ini bisa menahan keinginan Fatih.
“Mbak La, tolong bicara baik-baik dengan adikmu. Intinya abi,
umi, keberatan kalau Fatih keluar dari STIS, “pintaku pada Mbak La.
“Ya, Bi, nanti sehabis praktik, tak japrinya. Abi sama umi
tenang saja. “ jawab anakku membuat hatiku sedikit tenang.
Aku menunggu kabar dari Fatih. Tak ada WA, SMS, ataupun
telepon. Aku menuju kamar tidur. Istriku menyusul. Aku berusaha hadirkan kedua
anakku, lalu kuajak istriku kirim fatihah untuknya. Aku percaya melalui wasilah
bacaan Fatihah, Allah akan menjaga anak-anakku.
Berhari-hari aku menunggu kabar dari anakku, Fatih. Tak ada
kabar. Aku sebenarnya tak sabar. Aku mencemaskannya. Namun, aku telanjur janji
pada istri dan anak perempuanku. Aku harus sabar, tidak boleh mendahului pembicaraan
dengan Fatih.
Senin Kliwon, tepat di hari ketujuh belas, sebuah foto
dikirim via WA dari Surabaya. Sebuah tulisan yang sepertinya diambil dari buku
harian. Agak basah, sepertinya bekas tercuci. Sebuah tulisan singkat.
Kini aku ikhlas kuliah di tempat yang sebenarnya aku
tak suka
abi umi menahanku tetap harus di sini
dan surgaku berada di sini
maafkan Fatih
|
Kuberi tahu istriku. Kami membacanya bersama berulang-ulang.
Air mata kami tak tertahankan, satu per satu jatuh.
“Fatih, maafkan abi dan umi. Kami hanya ingin Fatih bahagia,
“ ucap kami hampir bersamaan sambil menahan air mata yang terus berjatuhan.
“Tuhan, Tahan Dia Tetap di Sana” (Sartono, Magelang 17 Januari 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar