Senin, 27 Januari 2014

Frasa, Klausa, dan Kalimat

FRASA, KLAUSA, DAN KALIMAT
(oleh Sartono Jaya)*

A.            FRASA
Frasa adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Misalnya: akan pulang, kemarin pagi, yang sedang berdoa.
Dari batasan tersebut dapatlah dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu (1) frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan (2) frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Artinya, frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau K.

Macam-macam Frasa
1.      Frasa endosentrik
Frasa endosentrik adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Frasa endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
a.       Frasa endosentrik yang koordinatif, yaitu: frasa yang terdiri dari unsur-unsur yang setara. Ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dapat dihubungkan dengan kata penghubung.
Contohnya:     suami istri                     pendidikan dan pengajaran
                        kakak adik                     belajar atau bermain
b.      Frasa endosentrik yang atributif, yaitu frasa yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara
Contohnya:     hari libur                       hadiah ulang tahun
hari, hadiah merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frasa dan secara semantik merupakan unsur terpenting/unsur pusat/unsur inti, sedangkan unsur lainnya merupakan atributif.
c.       Frasa endosentrik yang apositif
Frasa endosentrik yang apositif: frasa yang atributnya berupa aposisi/ keterangan tambahan.
Contohnya: Kardun, bekas suami Romlah, sangat ganteng.
Dalam frasa Kardun, bekas suami Romlah secara sematik unsur yang satu, dalam hal ini unsur bekas suami Romlah, sama dengan unsur lainnya, yaitu Kardun. Sebab, unsur bekas suami Romlah dapat menggantikan unsur Kardun. Perhatikan jajaran berikut:
Kardun, bekas suami Romlah, sangat ganteng
Kardun, ……………………., sangat ganteng.
   ………, bekas suami Romlah sangat ganteng.
Unsur Kardun merupakan unsur pusat/inti, sedangkan unsur bekas suami Romlah merupakan aposisi (Ap).
2.      Frasa Eksosentrik
Frasa eksosentrik ialah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Contohnya:
Siswa kelas XII IPS 2 sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frasa di dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan itu dapat dilihat dari jajaran berikut.
                        Siswa kelas XII IPS 2 sedang bergotong royong di   ……. (?)
                        Siswa kelas XII IPS 2 sedang bergotong royong  …. kelas (?)
3.      Frasa Nominal, Frasa Verbal, Frasa Bilangan, Frasa Keterangan
a.       Frasa Nominal: frasa yang memiliki distributi yang sama dengan kata nominal.
                Misalnya: rumah bagus, sepatu baru
b.        Frasa Verbal: frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata verbal.
                Misalnya: akan belajar
c.         Frasa Bilangan
Frasa Bilangan: frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
       Misalnya: dua butir telur, sepuluh keping
d.        Frasa Keterangan: frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan.
       Misalnya: tadi malam, besok pagi
e.         Frasa Depan: frasa yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksinnya.
       Misalnya: di musala sekolah, dari Gunung Sinabung


4.      Frasa Ambigu
Frasa ambigu artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau mengaburkan maksud kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya: Perusahaan garmen milik perancang busana wanita terkenal, tempat bapakku bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frasa perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
a.       Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
b.       Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.
5.      Frasa Idiomatik
Frasa yang perpaduan unsur-unsurnya mengandung makna kias, ungkapan.
Misalnya: meja hijau  (pengadilan), kembang desa (gadis tercantik di desa itu)

B.             KLAUSA
Klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P) baik disertai objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk menjadi kalimat. Misalnya: banyak orang mengatakan.
Unsur inti klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan klausa:
1.         Berdasarkan unsur intinya
2.         Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat
3.         Berdasarkan kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi predikat

C.            KALIMAT
1.      Pengertian
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
                Contoh: Ayah membaca Quran di musala.
2.    Pola-pola kalimat
Sebuah kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar pembentukan kalimat luas itu.
a.       Pola kalimat 1 = kata benda  + kata kerja
Contoh: Ayah memasak. Orang buta dituntun.
Pola kalimat 1 disebut kalimat ”verbal”
b.        Pola kalimat 2 = kata benda  + kata sifat
Contoh: Siswa rajin. Gunung tinggi.
Pola kalimat 2 disebut pola kalimat ”adjektiva”
c.         Pola kalimat 3 = kata benda + kata benda
Contoh: Bapak pedagang. Paman polisi
Pola kalimat 3 disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional. Kalimat ini mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
d.        Pola kalimat 4 (pola tambahan) = kata benda + adverbial
Contoh: Ibu ke mall. Ayah dari pasar.
Pola kalimat 4 disebut kalimat adverbial.

D.            JENIS KALIMAT
1.     Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti pembentukan kalimat (subjek dan predikat) dan boleh diperluas dengan salah satu atau lebih unsur-unsur tambahan (objek dan keterangan), asalkan unsur-unsur tambahan itu tidak membentuk pola kalimat baru.

Kalimat Tunggal
Susunan Pola Kalimat
Ayah mengaji.
Adik minum susu.
Tante menyimpan uang di bank.
S-P
S-P-O
S-P-O-K

2.    Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk dapat terjadi dari:
a. Sebuah kalimat tunggal yang bagian-bagiannya diperluas sedemikian rupa sehingga perluasan itu membentuk satu atau lebih pola kalimat baru, di samping pola yang sudah ada.
Misalnya:     Siswa itu membaca novel. (kalimat tunggal)
                   Siswa yang terpandai di kelas itu sedang membaca novel.
                   (subjek pada kalimat pertama diperluas)
b.    Penggabungan dari dua atau lebih kalimat tunggal sehingga kalimat yang baru mengandung dua atau lebih pola kalimat.
Misalnya:   Fatima mengaji Quran (kalimat tunggal I)
Bapak membaca koran (kalimat tunggal II)
                        Fatima membaca Quran dan bapak membaca koran.

Berdasarkan sifat hubungannya, kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
a.       Kalimat majemuk setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang hubungan antara pola-pola kalimatnya sederajat. Kalimat majemuk setara terdiri atas:
1)   Kalimat majemuk setara menggabungkan. Biasanya menggunakan kata-kata tugas: dan, serta, lagi pula, dan sebagainya.
Misalnya: Galang anak yang baik lagi pula sangat pandai.
2)      Kalimat majemuk serta memilih. Biasanya memakai kata tugas: atau, Misalnya: Anda mau ikut aku ke pasar atau menemani nenek di rumah?
3)  Kalimat majemuk setara perlawanan. Biasanya memakai kata tugas: tetapi, melainkan.
                        Misalnya: Dia sangat alim, tetapi adiknya sangat jahlun.

b.        Kalimat majemuk bertingkat
Kalimat majemuk yang terdiri dari perluasan kalimat tunggal. Bagian kalimat yang diperluas membentuk kalimat baru yang disebut anak kalimat. Sedangkan kalimat asal (bagian tetap) disebut induk kalimat.
Contoh:
1)        Mereka sudah mengetahui hal itu.
S                    P                      O
Mereka sudah mengetahui bahwa dia yang berbuat onar. (anak kalimat pengganti objek)
2)        Kami belajar sampai sore.
S            P             K
Kami belajar sampai matahari terbenam. (anak kalimat pengganti keterangan)

c.Kalimat majemuk campuran
Kalimat majemuk campuran adalah kalimat majemuk hasil perluasan atau hasil gabungan beberapa kalimat tunggal yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga pola kalimat.
Misalnya:
1)     Ketika kami duduk-duduk, seorang pemuda datang, dan kami menyambutnya dengan ramah.
2)      Tegar tetap berangkat ke sekolah dan mengerjakan tugas-tugas sekolah meskipun ia baru kurang enak badan.
*) dihimpun dari berbagai sumber                       

                                                                                 

Jumat, 24 Januari 2014

Materi Pelajaran (Kelas XII SMA)

Sudut Pandang Pengarang Cerpen/ Novel
(Sartono Jaya)*

Sudut Pandang Pengarang Cerpen/ Novel
1. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku”menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si ”aku” menjadi tokoh utama (first person central).
Contoh:
Pagi ini begitu cerah hingga mampu mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk tugas yang masih terbengkelai menjadi sedikit teringankan. Namun, aku harus segera bangkit dari tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke sekolah untuk mengerjakan PR, tepatnya menyalin pekerjaan teman, yang harus segera aku kumpulkan hari ini juga.
2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Sampingan
Dalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si ”aku” hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ”aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang berlalu-lalang serta amat membisingkan telinga menjadi santapan sehari-hariku setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan ini. Memang tak mudah untuk menata hati dan diriku menghadapi suasana kota besar, semacam Jakarta, bagi pendatang seperti aku. Dulu, aku sempat menolak untuk dipindahkan ke kota ini. Tapi, kali ini aku tak kuasa untuk menghindar dari tugas ini, yang konon katanya aku sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan perusahaan tempatku bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali ini. Praba, teman satu asramaku , juga mengalami hal yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena merasa satu nasib, harus beradaptasi dengan suasana Kota Jakarta.
“Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet seperti ini. Apakah tidak ada upaya dari Pemkot DKI mengatasi masalah ini! Rasanya, mendingan posisiku seperti dulu asal tidak di kota ini!” umpatnya.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga Serbatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.
4. Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat
Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

5. Sudut Pandang Orang Ketiga Terarah/Terfokus
Penulis fokus menggali isi pikiran dan perasaan dari tokoh utama. Tokoh-tokoh lain tampak diabaikan, tidak terlalu diungkap pikiran dan perasaannya.
Contoh:
  Si Dali bukan orang biasa. Sudah jadi tokoh. Bahkan tokoh luar biasa. Hidupnya selalu dalam cahaya yang bersinar terang.  Gemerlap dengan warna-warni yang aduhai indahnya. Lebih dari pelakon utama di atas panggung sandiwara.  Karena pelakon Julius Casar, atau King Lear, atau Macbeth hanya gemerlap pada sebatas bidang panggung. Apalagi bila layar panggung telah turun atau di luar gedung sandiwara para pelakon kembali jadi manusia biasa. Adakalanya mereka menjadi seperti orang kere yang selesai melakonkan Gatotkaca pada wayang wong masa lalu. Sedangkan Si Dali berada seperti pada panggung dunia yang tak lagi dibatasi oleh sepadan negara. Kata orang, Si Dali jadi begitu karena dia tidak pernah hidup dalam kegelapan. Kegelapan malam maupun kegelapan siang. Artinya dia hidup selalu dalam terang benderang, penuh cahaya.


*) Diambil dari berbagai sumber

KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...