÷bÎ) óOçFY|¡ômr& óOçFY|¡ômr& ö/ä3Å¡àÿRL{ ( ÷bÎ)ur
öNè?ù'yr&
$ygn=sù
4
ÇÐÈ
“Jika
kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu
berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.”(Al-Isra’: 7)
Hari itu ada seseorang yang meninggal
dunia. Seperti biasanya, jika ada sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti
menyempatkan diri mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup sampai
di situ, pada saat pulangnya, Rasulullah menyempatkan diri singgah untuk
menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan supaya tetap bersabar dan
tawakal menerima musibah itu.
Begitupun terhadap keluarga sahabat yang satu ini.
Sesampai di rumah duka, Rasulullah
bertanya kepada istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu mengucapkan wasiat
ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”
Sang istri yang masih diliputi kesedihan
hanya tertunduk. Isak tangis masih sesekali terdengar dari dirinya. “Aku
mendengar ia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal.
Ketika itu ia tengah menjelang ajal, ya Rasulullah.”
Rasulullah tertanya, “Apa yang
dikatakannya?”
“Aku tidak tahu, ya Rasulullah.
Maksudku, aku tidak mengerti apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum
mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya
memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah
lagi.
Istri yang setia itu menjawab, “Suamiku
mengatakan ‘Andaikata lebih panjang lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata
semuanya….’. Hanya itulah yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung
dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak
sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai….”
Rasulullah tersenyum. Senyum Rasulullah
itu membuat istri almarhum sahabat menjadi keheranan. Kemudian, terdengar
Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan suamimu itu tidak keliru.”
Beliau diam sejenak. “Jika kalian semua mau tahu, biarlah aku ceritakan kepada
kalian agar tak lagi heran dan bingung.”
Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja
yang menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir
zaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.
“Kisahnya begini,” Rasulullah memulai.
“Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan salat
Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa dengan dengan orang buta yang bertujuan
sama—hendak pergi ke masjid pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena
tidak ada yang menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang
membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas yang
penghabisan, ia menyaksikan pahala amal salehnya itu. Lalu ia pun berkata,
‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata jalan ke masjid itu
lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih besar pula.”
Semua anggota keluarga itu sekarang
mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara. “Terus,
ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang semakin penasaran
saja.
Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua
dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari
berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali untuk salat subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan
ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati
kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka
ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan diberikan
kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat
balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, ‘Coba,
andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya, dan bukannya mantelku yang
lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi.’ Itulah
yang dikatakan suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa
maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.
Dengan penuh kesabaran, Rasulullah
menjelaskan, “Ingkatkah engkau ketika pada suatu waktu suamimu datang dalam
keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Ketika itu engkau segera
menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun,
tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta
makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah
diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia
menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu. Karenanya, ia pun menyesal
dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak akan kuberi
hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti
pahalaku akan berlipat ganda pula.’”
Sekarang, semua anggota keluarga
mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang telah terjadi kepada suami dan
ayah mereka ketika akan menjelang wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena
ia tidak sungkan untuk menolong dan memberi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar