Dawet Ayu
Siang itu Ahad 7 Desember 2014, Pak Dumario sedang duduk
santai di teras rumah. Lelaki paruh baya itu ditemani istrinya, Nindita Sagita,
yang ia nikahi 17 tahun yang lalu. Mereka asyik ngobrol sesudah melaksanakan
aktivitas rutin mingguan: bersih-bersih rumah.
Sepuluh menit kemudian, Rikha Ardilla, anak perempuan Pak
Dumario pulang dari belajar kelompok. “Hai Mama, Papa sayang, aku
pulang!”setengah teriak Rikha sambil menghambur ke pelukan papa dan mamanya.
“Rikha sayang! Kalau masuk rumah jangan lupa ya, ucapkan
salam dulu.”
“Ya, Mama, “assalamualaikum, Mama-Papa sayangku! “ ucap Rikha
kolokan.
“Ma, Pa, ini Rikha bawakan sesuatu. Dijamin pasti segar. Mama
minum ini, nanti jadi makin cantik dan langsing.” Lalu setengah berlari Rikha
ke belakang. Tak lama ia sudah kembali menenteng beberapa gelas.
“Wah, ini baru anak mama. Tahu betul kamu, mama suka dawet.
Berapa banyak kamu beli, sayang?”
“Tenang saja, Ma.
Dijamin cukup. Dua yang hitam ini untuk papa dan Mas Wira. Biar mereka kuat.
Lelaki kan harus strong, ya Ma? Tiga
yang coklat ini, untuk kita. Ini namanya Dawet Ayu, Ma. Biar habis minum ini
tubuh kita menjadi semakin cantik seperti Syahruni. Semakin cetar membahana,
gitu lho Mam,” ucapan-ucapan itu terus
mengalir dari mulut Rikha.
Mereka berdua asyik menikmati dawet. Dari kejauhan terlihat
lelaki yang sudah tak asing bagi mereka. Gedubrag-gedubrag hentakan kaki dan
bau keringatnya yang khas sudah terdengar dan tercium dari radius 10 meter.
“Assalamaualaikum, Mama, Papa, dan adikku yang paling cantik
sedunia!”
“Waalaikumsalam, “ jawab mereka serentak.
“Wah, luar binasa, lagi pesta minuman ya? Hati-hati nanti
bisa ditangkap polisi.”
“Ni, kami lagi minum dawet. Dawet Ayu, kata adikmu. Ayo kamu
minum. Untuk kamu yang hitam. Kata adikmu supaya badanmu kuat seperti Ade Rai
dan tidak ngantukan di kelas, seperti papamu dulu.”
“Nggak mau ah, jorok!” jawab Wira sekenanya membuat kedua
wanita itu terperanjat.
“Wira, apa? Barusan kamu ngomong “jorok”. Dawet Ayu ini kamu
bilang jorok! Sudah gila kamu, ya?”
“E, sebentar, Bro, saya tak ngomong dulu, setelah itu silakan
mau ngumpat, marah, bahkan muntah kek.” Wira terus ngomong tanpa beban.
Sementara Rikha dan mamanya makin penasaran.
“Begini, Mama dan adikku sayaaaang. Mama tahu gak, dawet ini
kok warnanya hitam dan coklat?”
“Ya, karena bumbunya ada campuran ketan hitam atau coklat,
kali, “jawab mama dan Rikha kompak.
“Bukan itu, Bro! Saya beri tahu ya. Itu dawet warnanya hitam
atau coklat karena yang meres santennya, pake KAOS KUTANG.”
Seketika itu juga kedua wanita itu langsung muntah.
Butiran-butiran cendol mirip lintah kecil bercampur air coklat kekuningan yang
sudah terurai di perut langsung keluar dari tenggorokannya. Lantai teras yang
putih berubah warna.
“Wira, benar apa yang kamu katakan?” tanya mamanya sambil
terus membersihkan mulutnya dari air dawet, “jangan-jangan kamu, Wira, sudah SABLENG!”
“Ya, begitulah Ma, kata guruku.”
“Gurumu siapa? Edan dia barangkali!” sergap mamanya kesal.
“Gak percaya? Ya, tanya sama papa. Dia kan asli Banjarnegara,
negeri leluhurnya dawet.”
“Papa, ini gimana to? Bisa-bisanya situasi begini masih baca.
Baca, baca, melulu, kaya gak ada waktu kali lain, “protes istrinya.
“Benar, Pa, yang dikatakan jagoan kita itu?”
Papa Dumario yang dari tadi matanya terpaku pada novel Bidadari Bidadari Surga terpaksa
mengakhiri puasa bicaranya.
“Ya, 100% betul, “jawabnya santai.
“Hoeeek, “ kedua perempuan itu serentak berusaha mengeluarkan
sisa-sisa dawet yang masih ada di kerongkongan dan ususnya.
“Keterlaluan, penjual dawet jorok, orang Banjarnegara gila!”
“Dengarkan, Ma, dan kau anakku yang paling cantiiiik. Nggak
ada yang salah dengan penjual dawet dan juga orang-orang Banjarnegara. Mereka
sangat proporsional, meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.”
“Proporsional! Meres santan dawet pake kaos kutang kau
katakan proporsional Pa. Itu namanya keterlaluan. Jorok!” protes kedua
perempuan itu bersamaan.
“Papa sudah pernah observasi ke sana, melihat sendiri. Tidak
ada yang aneh. Mereka olahraga pake kaos dan trining, ke masjid pake gamis dan
sarung. Kondangan pake batik. Memeras santen kelapa untuk dawet menggunakan kaos
kutang apa salahnya? Bisa saja mereka kepanasan, lalu membuka bajunya sehingga
tinggal kaos dalamnya saja. Kalau pake batik atau jas, malah lucu, Ma, Rikha!”
jelas Papa Dumario dengan tenang.
“Ooooo! “kompak mulut kedua wanita itu membentuk bulatan dan tangannya
saling menuding.”
“Kamu si, Rikha CCTM, mama jadi ketularan nih.” Tanpa
dikomando mereka langsung berebut gelas dawet jatah papa dan Wira yang belum
disentuh dan segera meneguknya.
Sartono Jaya,Wates, Bakda Subuh, 25 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar