Minggu, 03 Mei 2015



MEMAKNAI PERINGATAN  HARI KARTINI
(Oleh Sartono Jaya)
Sabtu, 2 Mei 2015, keluarga besar SMAN 2 Magelang melaksanakan upacara hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Ada yang berbeda pada upacara kali ini. Hampir semua peserta mengenakan busana daerah. “Ya, ada nuansa warna-warni kali ini karena kami sekaligus memperingati hari Kartini, “kata beberapa siswa.
Rasanya pas sekali memperingati hari Kartini pada momen Hardiknas ini. Sebab, Kartini selain dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender, ia sejatinya juga merupakan tokoh pendidikan. Dari pemikiran-pemikiran beliaulah kemudian lahir embrio-embrio pengajaran perempuan di Jawa dan meluas ke Nusantara.

Fenomena Kartinian
Fenomena yang muncul kini adalah tiap tanggal 21 April selalu kita peringati sebagai hari Kartini. Di berbagai lapisan masyarakat, terutama di sekolah-sekolah nuansa itu begitu terasa. Bahkan, kini acara itu telah mulai merambah ke berbagai kantor, terutama kantor pemerintah. Hari Kartini selalu diperingati dengan simbol-simbol kewanitaan, seperti parade baju daerah, lomba memasak, lomba busana, lomba merias. Hari Kartini identik dengan pakaian daerah. Jadinya,  peringatan hari Kartini hanya terbatas pada seremoni, tanpa menyentuh aspek hakiki tentang makna emansipasi wanita.
Peringatan hari Kartini yang sepertinya akan turun-temurun seperti sekarang ini, tentu boleh-boleh saja. Tidak ada yang melarang. Bagi saya memperingati hari Kartini tidak harus demikian. Ada yang jauh lebih penting dari itu, yakni mengejawantahkan pikiran-pikiran Kartini. Kartini adalah pemikir revolusioner. Visinya jauh ke depan. Jadi, bagi saya Kartini jauh dari primordial. Hal itu dapat dibaca pada tulisan-tulisan Kartini, terutama setelah beliau berguru kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang.  Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti “dari gelap kepada cahaya”. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap kepada Cahaya” yang kemudian oleh E.E. Abendanon, sahabatnya di Belanda, dikumpulkan menjadi Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Sebuah Renungan
Oleh karena itu, patut kita merenung: mana yang lebih penting memperingati hari Kartini dengan berpakaian kedaerahan atau membangun sebuah pemikiran lain untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan Kartini dalam kehidupan nyata. Misalnya, meratakan akses pendidikan bagi kaum wanita, meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi kaum wanita, memperbaiki akses dalam pemerolehan pekerjaan. Hal tersebut jauh lebih penting daripada sekadar seremonial.
Kita baru saja terhentak dengan kasus kematian Selvina Amelia Agustina, mahasiswi asal Lampung. Dia harus meregang nyawa pascamelahirkan di kosnya tanpa ditemani oleh seorang pun. Juga kasus tewasnya Deudeuh Tata Chubby di kamar kosnya, di Jakarta, yang dilakukan oleh lelaki pengguna jasanya. Semua itu mewartakan bahwa kita masih menempatkan perempuan sebagai subordinat, sebagai objek yang diperlakukan semena-mena.
Oleh karena itu, mari kita memperingati hari Kartini dengan tindakan nyata. Kita muliakan, kita beri ruang yang layak dan bermartabat bagi perempuan. Dengan demikian, adalah keliru besar memperingati Kartini hanya sebatas seremoni berbusana. Lebih-lebih akhwat-akhwat yang sudah berhijab rela menanggalkan hijabnya. Insa Allah, Kartini suka perempuan yang berhijab, yang tetap berpegang teguh pada akidahnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...