Sabtu, 22 Agustus 2015

CERPEN



Lengkingan di Pagi Buta
(oleh Sartono Jaya)


Mendung menggelayut di atas bumi Banyuurip. Gumpalan awan hitam setia tak mau beranjak memayungi desa. Pohon-pohon lurus kaku tak bergerak. Semua diam. Sengaja menahan daunnya agar tak jatuh ke tanah. Tak terlihat kelebat daun lepas dari pelukan setia sang dahan. Burung-burung yang biasanya bernyanyi merdu di atas gerumbul jati di tepi jalan masuk desa pun tak terdengar. Hanya semayup “aok-aok” suara gagak yang sesekali terdengar. Pagi itu Desa Banyuurip laksana desa mati.
Dari corong musala yang terletak di sebelah gerumbul jati Desa Banyuurip, terdengar pengumuman lelayu “Innalillahi wainnailaihi rajiun 3x, telah meninggal dunia dengan tenang U-din Kar-ma-di, umur 17 setengah tahun, jenazah akan dimakamkan menyusul.” Berita kematian Udin segera tersebar ke seantero Banyuurip. Memecah keheningan pagi.
Pukul 10.15, orang-orang sudah berdatangan ke rumah Drs.Karmadi, melayat Udin. Mendadak rumah di tepi Kali Elo ini sudah penuh dijejali para pelayat. Tak ketinggalan teman-teman karib Udin terlihat duduk membentuk kelompok sendiri di sisi rumah di bawah pohon nangka. Lengkap. Ada Wisnu Gaplok, Bagas, Melchior, Mega Deta, Fafa.
“Tak mengira ya, begitu cepat kawan kita pergi, “ kata Mega dengan wajah sendu.
“Ya, kemarin kita baru saja bersendau gurau dengannya. E, sekarang dia sudah pergi selama-lamanya. Memangnya dia sakit apa? Ini aneh!” sahut Wisnu.
“Dia nggak sakit, “ timpal Bagas.
“Nggak sakit, kok bisa mati? “ sergah Wisnu lagi.
“Orang mati kan nggak harus sakit. Orang mati itu karena nyawanya hilang. Dan, menjadi kewajiban yang hidup adalah mati. Itu kata guru ngaji saya,terang Bagas.
“Halah, kamu mulai bawa-bawa ngelmu langit, “ balas Wisnu agak gondok.
“Ya, aku hanya kasihan sama dia, “ sambung Wisnu lagi.
“Kasihan, gimana?”
“Ya, kasihanlah, belum merasakan surga dunia, sudah wassalam.
Gundulmu amoh, dasar kuntul kamu! Ingat kita dalam situasi apa sekarang, “ sungut Bagas sambil mengurangi volume suaranya.
Pukul 11.00, beberapa pemuda karang taruna mempersiapkan peralatan upacara pemakaman. Sound system disiapkan di halaman rumah. Beberapa orang masuk bale membawa keranda. Upacara pelepasan jenazah dimulai. Pak Karmadi dan istrinya tertunduk berdiri di samping Pak Modin. Keranda yang berisi jenazah lengkap dengan roncean bunga-bunga dikeluarkan dari bale. Para pelayat mulai membuat jarak dengan keranda, kecuali Pak Modin dan keluarga dekat. Tak ada ritual panjang hari itu. Hanya sambutan pendek dari Pak Modin sekaligus mewakili keluarga.
“Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh, Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua para pelayat yang hadir siang ini. Pertama, Bapak Karmadi dan keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara semuanya. Kedua, keluarga minta maaf yang tulus dari semua yang hadir di sini atas semua kesalahan yang telah dilakukan almarhum semasa hidupnya. Mudah-mudahan almarhum diterima di sisi Allah subhanahu wataala dan diampuni segala dosanya.”
Semilir angin berhembus seperti disorongkan dari gerumbul pohon jati di tepi rumah menerpa krumunan pelayat. Bau aneh pun menyeruak berlarian menembus hidung para pelayat. Beberapa orang memicingkan kening dan hidung. Menahan sesuatu. Namun, mereka mampu mengendalikannya dan  segera memusatkan perhatiannya pada jenazah. Pak Karmadi dan keluarga semakin tertunduk. Suasana di halaman rumah  qabilul musibah menjadi semakin hening.
“Terakhir, saya ingin meminta bantuan kesaksian semua yang hadir di sini untuk memberikan jawaban yang singkat, padat, namun penuh makna. Apakah semasa hidupnya almarhum ini dikenal baik atau baik?” tanya Pak Modin.
“Baik!” Mula-mula hanya satu dua suara, tetapi kemudian disusul serempak oleh para pelayat yang lain. Sementara Wisnu, Bagas, Melchior – teman dekatnya, hanya saling menatap.
“Kamu yakin, Bro, dia baik? “ bisik Melchior.
“90% tidak! “ jawab teman-temannya, sambil memberi isyarat di mulut mereka.
“Kurang ajar kamu! Semua pelayat yakin. Semua pelayat menjawab ‘baik’, kamu malah berlawanan“ sungut Melchior.
“Lha, pertanyaannya sudah salah. Otoriter! Tidak demokratis! Persis guru kita kalau memberi tugas: HARUS dan HARUS. Masa pertanyaan ‘ya atau ya’. Jawab depan dan belakang sama saja, “ protes Bagas.
Cepat sekali prosesi pelepasan jenazah kali ini. Tidak seperti biasanya penuh sambutan, mirip lomba sesorah. Pukul 11.15 jenazah sudah digotong menuju pekuburan dusun yang jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah duka. Sebagian pelayat mengantar jenazah sampai ke makam, tanpa kecuali teman-teman dekat almarhum. Semua tampak menahan sesuatu.
Jenazah segera dikeluarkan dari keranda. Cekatan sekali pengangkat melepas tali yang mengikat jenazah. Beberapa orang segera mengangkat jenazah dan memasukkannya ke liang lahat. Sebagian pelayat menjauh, sementara teman-teman Udin justru mendekat. Mereka ingin melihat wajah karibnya untuk kali yang terakhir. Pak modin dengan hati-hati membuka sedikit wajah almarhum dari kain kafan yang membungkusnya. “Astagfirullah, “ berkali-kali ia mengucap lirih dan segera membuat gerakan untuk menutupi wajah almarhum, terutama di bagian mulutnya.
Ayo, sekarang silakan ditimbun. Hati-hati. Pelan-pelan, “ komando Pak Modin. Petugas pemakam jenazah pun segera bertindak. Dalam hitungan lima belas menit, telah terjadi gundukan di atas makam. Pak Modin pun membacakan doa yang terakhir. Para pelayat yang tersisa mengamininya. Sungguh khidmat kali ini Pak Modin mendoakan jenazah. Suaranya parau, sedikit bergetar, dan terkadang hilang. Berpacu dengan sesuatu yang menyesaki dadanya.
Orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Kembali pada urusannya sendiri-sendiri. Pekuburan sepi. Hanya beberapa ceceran bunga di atas gundukan makam Udin yang masih setia.
***

Tiba-tiba suara dari langit membelah liang makam. Keras sekali, memekakkan telinga siapa pun yang mendenggarnya. Sesosok tubuh tinggi menyeramkan berdiri di hadapan Udin. Ia menghentakkan kakinya. Seketika liang lahat jumpalitan tak karuan. Suaranya besar, bergetar penuh wibawa. Udin terduduk kaku di pojok liang yang sempit. Tangannya terus menutupi mulutnya.
“Bangun kamu! “ perintah sesosok tubuh besar di depannya penuh amarah.
“Siapa namamu? “ tanya sesosok tubuh besar tetap dengan nada tinggi.
“Na ...na ...ma saya Udin. Karena bapak saya Karmadi, terus nama saya jadi Udin Karmadi.”
Yakin, kamu U-din Kar-ma-di? “ suara itu menyelidik tetap galak.
“Yyaa, itu seperti yang tertulis dalam kartu pelajar saya.
“Di sini, nggak ada urusannya dengan kartu pelajar, KTP, dan sebagainya. Itu hanya atribut dunia. Berdiri kamu!
Udin segera bangun. Ia menggelayut, meraih kaki sesosok tubuh besar di depannya. Ia merajuk minta belas kasihan. Belum berhasil penuh ia menggamit kaki sesosok tubuh di depannya, sesosok tubuh itu sudah mengibaskannya. Badan Udin terlempar. Ia gelongsoran. Dari mulutnya tanpa bisa direm keluar kata-kata ‘crot, crot’ berpadu bau tak sedap. Udin sudah berusaha kuat menutupi mulutnya. Akan tetapi, begitu ia lepas tangannya dari indra itu, kata-kata itu langsung meluncur deras. “Crot, crot, crot, crot, crot, crot!”
“Udin, man rabbuka? “ pertanyaan itu menggelenggar dari mulut sesosok tubuh perkasa di depannya.
“Aas, …. .” Belum selesai kata itu keluar dari mulut Udin, sebuah gamparan tangan keras mendarat di mulutnya. Tubuh Udin sempoyongan. Kali ini crot itu bukan hanya verbal, melainkan gumpalan darah segar yang muncrat deras dari mulutnya.
“Ampun. Seribu ampun, Tuan, “Udin berusaha bangkit dan menyembah-nyembah sesosok tubuh penuh misteri di depannya. Namun, sesosok misteri itu tidak mengacuhkan sama sekali.
Man nabiyyuka? Sebuah pertanyaan lagi mengagetkan Udin yang masih mengerang kesakitan.
“Cee… , “ sambil segera menutup mulutnya, dengan tangan kirinya yang berlumur darah. Ia begitu menyesal mengapa kata-kata itu otomatis seperti mekanik. Tak bisa ditahan. Prok! Kali ini pukulan benda sebesaar pohon pisang langsung melumatkan tubuhnya. Udin benar-benar gepeng seperti rajangan kerupuk.
“Aduuuh biyung, sumpaaah ampuuuun, Ma… .
“Kaumau mengatakan aku malaikat!” balas makhluk di depannya mendelik.
Am...pun, saya hanya menduga-duga saja, “ jawab Udin langsung menunduk tak berani beradu pandang.
“Ampun, sebenarnya apa dosa-dosaku sehingga engkau begitu menikmati menghajarku habis-habisan?” Udin terus merajuk sambil membuat gerakan sujud berkali-kali.
 “Dosamu sebesar Gunung Tidar, tetapi engkau masih tidak merasa. Dasar dungu! Kamu punya mata, tapi jarang kaugunakan untuk melihat yang baik-baik. Kaupunya kuping yang lebar, tapi lebih banyak kaugunakan untuk mendengar gosip daripada kabar baik. Hatimu mati karena tak pernah kausirami. Kau pantas mendapatkan balasannya!”
“Ya, tetapi itu sudah menjadi hal yang biasa kita lakukan. Kita hanya mengikuti teman-teman. Bagas, Wisnu, Wira, Melchior, hampir semua teman saya melakukannya.
“KITA! Mengapa kamu mulai melibat-libatkan saya dalam masalahmu, ha! “ bentak sosok tubuh di depannya.
“Maksud saya, ini biasa di antara saya dan teman-teman. Maaf, maksud saya, KAMI. Ia segera teringat bagaimana gurunya sering menerangkan perihal penggunaan dua kata itu.
“Sekarang jawab dengan jujur! Dalam setiap duduk dan berjalanmu, kata apa yang sering kauucapkan ketika kamu kesal?”
“Aaassu,  “ Udin ingin sekali menahannya, tetapi kata itu terlanjur keluar.
“Lalu bila kau berkumpul dengan teman-teman, bahkan tanpa sesuatu yang jelas, kata-kata favorit apa yang sering kauucap?”
“Ceeleeng, “kata itu begitu polos keluar dari mulut Udin.
“Kamu benar-benar keterlaluan. Tidakkah kausadari kata-kata itu telah membuat beberapa temanmu memendam kecewa. Bahkan ibumu sendiri harus mengelus dada dan menangis sewaktu kaumembuka pintu rumah. Bukan kata salam damai yang kauucap, melainkan kata-kata tidak senonoh yang kauhadiahkan. Kamu sudah mendurhakai orang yang mestinya tiga kali lebih kauhormati.”
Udin terpaku diam. Semua yang diucapkan sosok tubuh misteri itu kini terpampang jelas di depannya. Ia sudah memejamkan mata, namun kejadian demi kejadian yang pernah ia lakukan justru makin nyata. Ia seperti disuguhi video replay. Dirinya sebagai tokoh utama. Udin segera menarik kedua telapak tangannya. Ia tutup matanya rapat-rapat. Namun, tidak juga hilang. Keparat! Pok, pok, pok, tiba-tiba Udin berdiri menampongi mulutnya sendiri.
“Sungguh peo betul, kamu mulut! Hanya menjawab pertanyaan semudah itu saja tidak dapat. Gebleg banget kamu ini! Man rabbuka? Siapa Tuhanmu? Halah, mestinya pertanyaan itu kaujawab dengan cepat Allah, Allah subhanahu wataala. Man nabiyyuka? Kau pun harus cepat sambut dengan jawaban Kanjeng Nabi Muhammad saw. Begitu saja kamu tidak dapat. Peo banget! Bukankah kamu pernah ikut ngaji bareng dengan tema “Pertanyaan Kubur”.
Udin terus menyumpahi mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Ingatannya melayang pada gurunya yang paling nyinyir itu. Bagaimana dulu ia sering mengolok-olok, bahkan pernah mendebatnya hingga wajah gurunya memerah.  “Nggak usah diajari kalau hanya pertanyaan kubur seperti itu. Semua orang juga pasti bisa menjawabnya. Bagaimana tidak bisa? Semua orang  sudah mendapat bocorannya, Pak. Ledekan-ledekan itu kini menjadi busur panah yang mengoyak-ngoyak gendang telinganya. Dan, yang lebih memalukan lagi, ia melihat dirinya berdiri sempoyongan sebagai pecundang di hadapan gurunya. Udin mengibas-ngibaskan kepalanya.
“Kamu benar-benar kurang ajar! Mulutmu tidak pernah disekolahkan. Apakah di sekolah, gurumu tidak mengajari kamu kata-kata yang baik? Ayo jawab! “ bentak sesosok tubuh penuh misteri itu.
“Peer …. nah, “ jawab Udin. Kali ini ia bisa sedikit tersenyum dalam hati. Mulutnya sudah mulai mengikuti logika pikirannya.
“Siapa nama guru agamamu di sekolah?”
“Bapak Arif. Nama lengkapnya Arif Khoiruddin.”
“Apakah tidak ada guru lain yang ngajari kamu berkata-kata yang sopan?”
“Adaa, ada.”
“Siapa namanya! “ suara itu tetap tinggi.
 “Sartono.”
“Sartono yang mana? Di dunia ini banyak sartono. Ada Sartono Anwar, Sartono Mukadas, Sartono Karto Dirjo. Mana yang kaumaksudkan?”
“Sartono Jaya. Dia guru yang paling sering nyinyir soal itu setiap ketemu saya.
“Kamu sungguh manusia keterlaluan. Tiap hari diajari bicara sopan, tetapi mulutmu justru lebih sering memproduksi kata-kata jorok. Kata-kata tidak senonoh!”
“Ya, ampuuun. Sekarang saya sadar. Saya janji tidak akan mengulangi itu lagi. Saya janji. Sumpah, “ kata-kata itu terus menerocos dari mulut Udin sampai tamparan keras dari tangan kekar menghentikannya.
Mulut Udin penuh belepotan darah dan tak simetris lagi. Namun, sesosok tubuh besar itu terus menghajarnya. Tak kenal belas kasih, seperti tentara Jenghis Khan melibas musuhnya. Udin sudah tidak bisa dikenali lagi. Tidak hanya mulutnya yang belepotan darah. Sekujur tubuhnya kini penuh luka dan mengucurkan darah.
“Tuaaan, saya harus ngomong apa lagi. Intinya aku mohoon, aku mohon maaf. Minta ampuun. Beri saya kesempatan untuk bertobat, meski hanya satu kali. Saya janji akan memperbaiki diri. Saya tidak akan mengulangi lagi, “ rajuk Udin sambil menyembah-nyembah.
“Semuanya sudah terlambat! Dan, kau harus membayarnya.
Sesosok tubuh besar itu sekarang mengambil sesuatu. Udin melihatnya dengan jelas. Oh, gada dengan diameter sebesar pohon kelapa telah direngkuhnya. Dipegang dan diputar-putar. Ringan sekali. Ia segera mengambil jarak. Berancang-ancang.
“Ampuuuuuun, jangaaaan!  
Suara lengkingan itu membuat tubuh Udin melayang dan terkapar di sudut kamar, memecah keheningan pagi buta.

Magelang, bakda subuh, 9 Juni 2015

Keterangan:
1.        man raabuka : siapa Tuhanmu
2.        man nabiyyuka: siapa nabimu
3.        qabilul musibah: yang terkena musibah

4.        peo: bodoh sekali

2 komentar:

  1. pak saya sudah post cerpen dan laporan saya.

    BalasHapus
  2. blog saya http://nia2209.blogspot.co.id/ saya sudah post cerpen dan laporan saya pak, terimakasih

    BalasHapus

KISI-KISI US 2022

      Bijak Menyikapi Kisi-Kisi                                                             (oleh Sartono Jaya)           A lhamdulill...