Mendung menggelayut
di atas bumi Banyuurip. Gumpalan
awan hitam setia tak mau beranjak memayungi desa. Pohon-pohon lurus kaku tak bergerak. Semua diam. Sengaja menahan daunnya agar
tak jatuh ke tanah. Tak terlihat kelebat daun lepas dari pelukan setia sang dahan.
Burung-burung yang biasanya bernyanyi
merdu di atas gerumbul jati di tepi jalan masuk desa pun tak terdengar. Hanya semayup “aok-aok” suara gagak yang sesekali terdengar. Pagi itu Desa Banyuurip laksana desa mati.
Dari corong musala yang terletak di sebelah gerumbul jati
Desa Banyuurip, terdengar pengumuman lelayu “Innalillahi wainnailaihi rajiun 3x, telah meninggal dunia dengan tenang U-din Kar-ma-di, umur 17 setengah tahun, jenazah akan dimakamkan
menyusul.” Berita kematian Udin segera tersebar ke seantero Banyuurip. Memecah keheningan pagi.
Pukul 10.15, orang-orang sudah berdatangan ke rumah Drs.Karmadi,
melayat Udin. Mendadak rumah di tepi Kali Elo ini sudah penuh dijejali para
pelayat. Tak ketinggalan teman-teman karib Udin terlihat duduk membentuk
kelompok sendiri di sisi rumah di bawah pohon nangka. Lengkap. Ada Wisnu
Gaplok, Bagas, Melchior, Mega Deta, Fafa.
“Tak mengira ya, begitu cepat kawan kita pergi, “ kata Mega dengan wajah sendu.
“Ya, kemarin kita baru saja bersendau gurau dengannya. E,
sekarang dia sudah pergi selama-lamanya. Memangnya dia sakit apa? Ini aneh!”
sahut Wisnu.
“Dia nggak sakit, “ timpal
Bagas.
“Nggak sakit, kok bisa mati? “ sergah Wisnu lagi.
“Orang mati kan nggak harus sakit. Orang mati itu karena
nyawanya hilang. Dan, menjadi kewajiban yang hidup adalah mati. Itu kata guru
ngaji saya,” terang Bagas.
“Halah, kamu mulai bawa-bawa ngelmu langit, “ balas Wisnu agak gondok.
“Ya, aku hanya kasihan sama dia, “ sambung Wisnu lagi.
“Kasihan, gimana?”
“Ya, kasihanlah, belum merasakan surga dunia, sudah wassalam.
“Gundulmu amoh,
dasar kuntul kamu! Ingat kita dalam situasi apa sekarang, “ sungut Bagas sambil mengurangi volume suaranya.
Pukul 11.00, beberapa pemuda karang taruna mempersiapkan peralatan upacara pemakaman. Sound
system disiapkan
di halaman rumah. Beberapa orang
masuk bale membawa keranda. Upacara pelepasan jenazah dimulai. Pak Karmadi dan
istrinya tertunduk berdiri di samping Pak Modin. Keranda yang berisi jenazah lengkap dengan roncean bunga-bunga dikeluarkan dari bale. Para pelayat mulai membuat jarak
dengan keranda, kecuali Pak Modin dan keluarga dekat. Tak ada ritual panjang
hari itu. Hanya sambutan pendek dari Pak Modin sekaligus mewakili keluarga.
“Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh, Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua para pelayat yang hadir siang
ini. Pertama, Bapak Karmadi dan keluarga menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak, Ibu-ibu,
dan Saudara-saudara semuanya.
Kedua, keluarga minta maaf yang tulus dari semua yang hadir di sini atas semua
kesalahan yang telah dilakukan almarhum semasa hidupnya. Mudah-mudahan almarhum
diterima di sisi Allah subhanahu
wataala dan diampuni segala dosanya.”
Semilir angin berhembus seperti disorongkan dari gerumbul pohon jati di tepi rumah menerpa krumunan pelayat. Bau aneh pun
menyeruak berlarian
menembus hidung para pelayat. Beberapa orang memicingkan kening dan hidung. Menahan
sesuatu. Namun, mereka mampu mengendalikannya dan segera memusatkan perhatiannya
pada jenazah. Pak Karmadi dan
keluarga semakin tertunduk. Suasana di halaman rumah qabilul musibah menjadi semakin hening.
“Terakhir, saya ingin meminta bantuan kesaksian
semua yang hadir di sini
untuk memberikan jawaban yang singkat, padat, namun penuh makna. Apakah semasa hidupnya almarhum ini dikenal baik atau baik?” tanya Pak Modin.
“Baik!” Mula-mula hanya satu dua suara,
tetapi kemudian disusul serempak oleh para pelayat yang lain. Sementara Wisnu,
Bagas, Melchior – teman dekatnya, hanya saling menatap.
“Kamu yakin, Bro, dia baik? “ bisik Melchior.
“90% tidak! “ jawab
teman-temannya, sambil memberi isyarat di mulut mereka.
“Kurang ajar kamu! Semua pelayat
yakin. Semua pelayat menjawab ‘baik’, kamu malah berlawanan“ sungut Melchior.
“Lha, pertanyaannya sudah salah. Otoriter! Tidak demokratis! Persis
guru kita kalau memberi tugas: HARUS dan HARUS. Masa pertanyaan ‘ya atau ya’.
Jawab depan dan belakang sama saja, “ protes Bagas.
Cepat sekali prosesi pelepasan jenazah kali ini. Tidak
seperti biasanya penuh sambutan, mirip lomba sesorah. Pukul 11.15 jenazah sudah
digotong menuju pekuburan dusun yang jaraknya hanya dua ratus meter dari rumah
duka. Sebagian pelayat mengantar jenazah sampai ke makam, tanpa kecuali
teman-teman dekat almarhum. Semua tampak menahan sesuatu.
Jenazah segera dikeluarkan dari keranda. Cekatan sekali pengangkat melepas tali yang mengikat jenazah. Beberapa orang
segera mengangkat jenazah dan
memasukkannya ke liang lahat. Sebagian
pelayat menjauh, sementara teman-teman Udin justru mendekat. Mereka ingin
melihat wajah karibnya untuk kali yang terakhir. Pak
modin dengan hati-hati membuka sedikit wajah almarhum dari kain kafan yang membungkusnya.
“Astagfirullah, “ berkali-kali ia mengucap
lirih dan segera membuat gerakan untuk menutupi wajah almarhum, terutama di
bagian mulutnya.
“Ayo,
sekarang silakan ditimbun.
Hati-hati. Pelan-pelan, “ komando Pak Modin.
Petugas pemakam jenazah pun segera bertindak. Dalam hitungan lima belas menit,
telah terjadi gundukan di
atas makam. Pak Modin pun
membacakan doa yang terakhir. Para pelayat yang tersisa mengamininya. Sungguh
khidmat kali ini Pak Modin mendoakan jenazah. Suaranya parau, sedikit
bergetar, dan terkadang hilang. Berpacu dengan sesuatu
yang menyesaki dadanya.
Orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Kembali pada
urusannya sendiri-sendiri. Pekuburan sepi. Hanya beberapa ceceran bunga di atas
gundukan makam Udin yang masih setia.
***
Tiba-tiba suara dari langit membelah liang makam. Keras
sekali, memekakkan telinga siapa pun yang mendenggarnya. Sesosok tubuh tinggi
menyeramkan berdiri di hadapan Udin. Ia menghentakkan kakinya. Seketika liang
lahat jumpalitan tak karuan. Suaranya besar, bergetar
penuh wibawa. Udin terduduk kaku di pojok liang yang sempit. Tangannya terus
menutupi mulutnya.
“Bangun kamu! “ perintah sesosok tubuh besar di depannya
penuh amarah.
“Siapa namamu? “ tanya sesosok tubuh besar tetap dengan nada
tinggi.
“Na ...na ...ma saya Udin. Karena bapak saya Karmadi, terus
nama saya jadi Udin Karmadi.”
“Yakin, kamu U-din Kar-ma-di? “ suara itu menyelidik tetap
galak.
“Yyaa, itu seperti yang tertulis dalam kartu pelajar saya.
“Di sini, nggak ada urusannya dengan kartu pelajar, KTP, dan
sebagainya. Itu hanya atribut dunia. Berdiri kamu!
Udin segera bangun. Ia menggelayut, meraih kaki sesosok tubuh
besar di depannya. Ia merajuk minta belas kasihan. Belum berhasil penuh ia
menggamit kaki sesosok tubuh di depannya, sesosok tubuh itu sudah
mengibaskannya. Badan Udin terlempar. Ia gelongsoran. Dari mulutnya tanpa bisa direm keluar kata-kata ‘crot, crot’
berpadu bau tak sedap. Udin sudah berusaha kuat menutupi mulutnya. Akan tetapi,
begitu ia lepas tangannya dari indra itu, kata-kata itu langsung meluncur deras.
“Crot, crot, crot, crot, crot, crot!”
“Udin, man rabbuka? “ pertanyaan itu menggelenggar dari mulut sesosok tubuh perkasa
di depannya.
“Aas, …. .” Belum selesai kata itu keluar dari mulut Udin,
sebuah gamparan tangan keras mendarat di mulutnya. Tubuh Udin sempoyongan. Kali
ini crot itu bukan hanya verbal, melainkan gumpalan darah segar yang muncrat deras dari mulutnya.
“Ampun. Seribu ampun, Tuan, “Udin berusaha bangkit dan menyembah-nyembah sesosok tubuh penuh misteri di
depannya. Namun, sesosok misteri itu tidak mengacuhkan sama sekali.
“Man nabiyyuka?
Sebuah pertanyaan lagi mengagetkan Udin yang masih mengerang kesakitan.
“Cee… , “ sambil segera menutup mulutnya, dengan tangan kirinya yang berlumur darah. Ia
begitu menyesal mengapa kata-kata itu otomatis seperti mekanik. Tak bisa
ditahan. Prok! Kali ini pukulan benda sebesaar pohon pisang langsung melumatkan
tubuhnya. Udin benar-benar gepeng seperti rajangan kerupuk.
“Aduuuh biyung, sumpaaah ampuuuun, Ma… .
“Kaumau mengatakan aku malaikat!”
balas makhluk di depannya mendelik.
“Am...pun, saya
hanya menduga-duga saja, “ jawab Udin langsung menunduk tak berani
beradu pandang.
“Ampun, sebenarnya
apa dosa-dosaku sehingga engkau begitu menikmati
menghajarku habis-habisan?” Udin terus merajuk sambil membuat gerakan sujud
berkali-kali.
“Dosamu sebesar Gunung
Tidar, tetapi engkau masih tidak merasa. Dasar dungu! Kamu punya mata, tapi jarang kaugunakan untuk melihat yang
baik-baik. Kaupunya kuping yang lebar, tapi lebih banyak kaugunakan untuk
mendengar gosip daripada kabar baik. Hatimu mati karena
tak pernah kausirami. Kau pantas mendapatkan balasannya!”
“Ya, tetapi itu sudah menjadi hal yang biasa kita lakukan.
Kita hanya mengikuti teman-teman. Bagas, Wisnu, Wira, Melchior, hampir semua teman saya melakukannya.”
“KITA! Mengapa kamu mulai melibat-libatkan
saya dalam masalahmu, ha! “ bentak sosok tubuh
di depannya.”
“Maksud saya, ini biasa di antara saya dan teman-teman. Maaf,
maksud saya, KAMI.” Ia segera teringat bagaimana gurunya sering menerangkan perihal penggunaan
dua kata itu.
“Sekarang jawab dengan jujur! Dalam setiap duduk dan
berjalanmu, kata apa yang sering kauucapkan ketika kamu kesal?”
“Aaassu, “ Udin ingin sekali menahannya, tetapi kata itu terlanjur
keluar.
“Lalu bila kau berkumpul dengan
teman-teman, bahkan tanpa sesuatu yang jelas, kata-kata favorit apa yang sering
kauucap?”
“Ceeleeng, “kata itu begitu polos keluar dari mulut Udin.
“Kamu benar-benar keterlaluan. Tidakkah kausadari kata-kata
itu telah membuat beberapa temanmu memendam kecewa. Bahkan ibumu sendiri harus
mengelus dada dan menangis sewaktu kaumembuka pintu rumah. Bukan kata salam damai yang kauucap, melainkan kata-kata tidak senonoh yang
kauhadiahkan. Kamu sudah
mendurhakai orang yang mestinya tiga kali lebih kauhormati.”
Udin terpaku diam. Semua yang diucapkan sosok tubuh misteri
itu kini terpampang jelas di depannya. Ia sudah memejamkan mata, namun kejadian demi kejadian yang
pernah ia lakukan justru makin
nyata. Ia seperti disuguhi video replay. Dirinya sebagai tokoh utama.
Udin segera menarik kedua telapak tangannya. Ia tutup matanya rapat-rapat. Namun,
tidak juga hilang. Keparat! Pok, pok, pok, tiba-tiba Udin berdiri menampongi
mulutnya sendiri.
“Sungguh peo betul,
kamu mulut! Hanya menjawab pertanyaan semudah itu saja tidak dapat. Gebleg
banget kamu ini! Man rabbuka? Siapa
Tuhanmu? Halah, mestinya pertanyaan itu kaujawab dengan cepat Allah, Allah
subhanahu wataala. Man nabiyyuka? Kau
pun harus cepat sambut dengan jawaban Kanjeng Nabi Muhammad saw. Begitu saja
kamu tidak dapat. Peo banget!
Bukankah kamu pernah ikut ngaji bareng dengan tema “Pertanyaan Kubur”.
Udin terus menyumpahi mulutnya yang tidak bisa diajak
kompromi. Ingatannya melayang pada gurunya yang paling nyinyir itu. Bagaimana
dulu ia sering mengolok-olok, bahkan pernah mendebatnya hingga wajah gurunya
memerah. “Nggak usah diajari kalau hanya
pertanyaan kubur seperti itu. Semua orang juga pasti bisa menjawabnya. Bagaimana
tidak bisa? Semua orang sudah mendapat bocorannya,
Pak. Ledekan-ledekan itu kini menjadi busur panah yang mengoyak-ngoyak gendang
telinganya. Dan, yang lebih memalukan lagi, ia melihat dirinya berdiri sempoyongan
sebagai pecundang di hadapan gurunya. Udin mengibas-ngibaskan kepalanya.
“Kamu benar-benar kurang ajar! Mulutmu tidak pernah
disekolahkan. Apakah di sekolah, gurumu tidak mengajari kamu kata-kata yang baik? Ayo jawab! “ bentak
sesosok tubuh penuh misteri itu.
“Peer …. nah, “ jawab Udin. Kali
ini ia bisa sedikit tersenyum dalam hati. Mulutnya
sudah mulai mengikuti logika pikirannya.
“Siapa nama guru agamamu di sekolah?”
“Bapak Arif. Nama lengkapnya Arif Khoiruddin.”
“Apakah tidak ada guru lain yang ngajari kamu berkata-kata
yang sopan?”
“Adaa,
ada.”
“Siapa namanya! “ suara
itu tetap tinggi.
“Sartono.”
“Sartono yang mana? Di dunia ini banyak sartono. Ada Sartono
Anwar, Sartono Mukadas,
Sartono Karto Dirjo. Mana yang kaumaksudkan?”
“Sartono Jaya. Dia guru yang paling sering nyinyir soal itu setiap ketemu saya.
“Kamu sungguh manusia keterlaluan. Tiap hari diajari bicara
sopan, tetapi mulutmu justru lebih sering memproduksi kata-kata jorok.
Kata-kata tidak senonoh!”
“Ya, ampuuun. Sekarang saya sadar. Saya janji tidak akan
mengulangi itu lagi. Saya janji. Sumpah, “ kata-kata itu terus menerocos dari mulut Udin sampai tamparan
keras dari tangan kekar menghentikannya.
Mulut Udin penuh belepotan darah dan tak simetris lagi.
Namun, sesosok tubuh besar itu terus menghajarnya. Tak kenal belas kasih,
seperti tentara Jenghis Khan melibas musuhnya. Udin sudah tidak bisa dikenali
lagi. Tidak hanya mulutnya yang belepotan darah. Sekujur tubuhnya kini penuh
luka dan mengucurkan darah.
“Tuaaan, saya harus ngomong apa lagi. Intinya aku mohoon, aku
mohon maaf. Minta ampuun. Beri saya kesempatan untuk bertobat, meski hanya satu
kali. Saya janji akan memperbaiki diri. Saya tidak akan mengulangi lagi, “
rajuk Udin sambil menyembah-nyembah.
“Semuanya sudah terlambat! Dan, kau harus membayarnya.
Sesosok tubuh besar itu sekarang mengambil sesuatu. Udin
melihatnya dengan jelas. Oh, gada dengan diameter sebesar pohon kelapa telah
direngkuhnya. Dipegang dan diputar-putar. Ringan sekali. Ia segera mengambil
jarak. Berancang-ancang.
“Ampuuuuuun, jangaaaan!
Suara lengkingan
itu membuat tubuh Udin melayang dan terkapar di sudut kamar, memecah keheningan pagi buta.
Magelang, bakda subuh, 9 Juni 2015
Keterangan:
1.
man
raabuka : siapa Tuhanmu
2.
man
nabiyyuka: siapa nabimu
3.
qabilul
musibah: yang terkena musibah
4.
peo:
bodoh sekali