CERPEN
(Beny Arsyad)
Pukul sepuluh malam Jumat kemarin,
dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu menyalanya. Aku tahu bahwa kau
tidak pernah peduli dengan nada dering yang kupakai sebab mengurus dua anak
kita yang masih balita jauh lebih menyita perhatianmu. Ketika kukatakan bahwa
aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau sedikit keberatan.
Kau sempat membawa-bawa kasus
penodongan atau perampokan — yang berujung pada pembunuhan korbannya — yang
kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun menanggapinya
dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau penodong atau
pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak dirampok atau
ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh, kau tahu bukan
kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang yang bernama
Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau ingin berkonsentrasi
mengurus anak, jalan yang hingga kini telah mengantarku menjadi pengarang
terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau hidupku—hidup
kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya aku
memilikimu.
Entah kau menyimak kata-kataku atau
tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua
botol — dot berisi susu formula cair.
Ah, kau pasti lelah sekali, istriku.
Aku tahu, mengurus dua anak bukanlah
perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa mengarang sangat melelahkan
ketika ide tak kunjung berhasil kutangkap. Namun, tentu saja itu belum apa-apa
dibandingkan dengan apa yang kaujalani. Ya, aku sempat beberapa kali berniat
membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu hari aku mencoba mengambil
alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat kota cukup lama, dan
hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.
Ah, betapa beruntungnya aku memiliki
istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah,
atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan
emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku
menghapal tabiat itu ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau
menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah
baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak
seperti “diam”-nya perempuan apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai
mimik muka cemberut, jutek, kesal, atau marah. Tidak!
Kau sempat membisu hampir tiga hari
sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil pemberian orang tuaku demi
membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu, Sayang: memiliki mobil adalah
prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah kita hanya
makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu formula anak
kita dengan merk yang paling murah harganya.
Ah, ekspresimu ketika tak bersetuju
memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.
Seperti itu pula yang terjadi malam
itu.
Termasuk ketika kutanyakan perihal
makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui Ilyas, begitu aku biasa
menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk kedua kalinya, seperti
merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau sebaiknya aku tidak pulang
kalau tidak membawa rumah baru.
Aku tahu kalau kau muak dengan sikap
empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan rumah yang dihadiahkan suami
mereka, atau bisa-bisa saja kau bercanda … tapi jangan begitu, Sayang.
Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku juga sedang berusaha keras untuk
menyumpal mulut mereka dengan rumah kita sendiri. Ah, harusnya aku memaklumi sikapmu
sebab mungkin saja kau merasa muak dengan alasan-alasanku karena saban keluar
malam—terutama dua pekan belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas,
waktu ketika kau sudah terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan
botol dot susu formula yang isi nyatak lagi penuh.
Pagi ini, kau mengutarakan pertanyaan
yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya berdetak. Aku pun bercerita
dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap bahwa “aku bercerita dengan
jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku memang suamimu yang baik, bukan
laki-laki brengsek yang suka main perempuan seperti ketakutan yang tak pernah
kauutarakan itu.
Kau menyimak ceritaku dengan saksama.
Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk.
Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.
Usai menyambut telepon dari Ilyas,
kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang tak lama setelah menemuinya.
Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja karena aku hapal bahasa tubuhmu
kalau tak merestui tindakanku—bukan karena kerepotanmu mengurus dua anak kita
yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil kunci mobil dan melangkah keluar,
menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya, kau masih sempat mencangking Si
Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku
merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan mesin mobil sebelum memutar
setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama kompleks.
Di kampus, aku dan Ilyas sangat dekat
karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid, semacam grup vokal
lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah sebelas tahun yang lalu,
terlebih setelah kami menikah lima tahun yang lalu—bukan berarti kami naik
pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak pernah saling kontak.
Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat tanggal lahirnya,
Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya kami bisa berbagi
kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di Facebook, namun
entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga benar-benar—bukan hanya
menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau mengasyikan atau melenakan.
Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama mereka acap membuatku ‘lupa
diri’.
O ya istriku, aku akhirnya menemui
Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah. Sebagai teman dekat yang
lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat untuk beberapa saat. Di
mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku mengajak Ilyas naik
ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya sedang mogok dan si
sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan memakan waktu paling
cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafe favoritku yang buka sampai
larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal.
Tentang keluarga, pekerjaan,
pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat bersemangat hingga
membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk mengurangi volume suara
dan tawa yang meledak semaunya.
O ya Sayang, sebenarnya aku menawari
Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku baru tahu kalau dia
baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air muka sedih Ilyas
mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya, dapat kupahami
bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat kau yang
begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri
Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka seorang bayi pada
tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang bersabar menimang buah hati di
tahun kedua pernikahan.
Ah sudahlah, aku harap kau bisa
mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.
O ya, kau tahu bukan, kalau malam itu
aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul
sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam
berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang
hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan
kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung
saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu kabur.
Usai mengantar Ilyas ke bangku bus,
aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetir ngebut, Sayang.
Sesampainya di rumah, setelah membuka
pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompet kunci mobil,
sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita
sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atas perutmu dan
botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung kempong
dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau, ya, kau masih terlelap
dengan mulut yang setengah menganga.
Kau masih ingat, bukan, kalau aku
mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang
meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah ke kamar sebelah. Di sana,
kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah. Kita mengakhiri permainan
satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggil kita. Ia pasti
merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.
Kau tersenyum manis sekali malam itu.
Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi
kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita
akan membeli rumah baru di perumahan elite di dekat gerbang kota. Kau langsung
memelukku dan kita bertarung lagi.
Istriku … jangan tersipu malu seperti
itu.
Maafkanlah kalau ceritaku jadi
ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalau kita berbuat
baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita
memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang
sukses di Jakarta, dan perumahan elite yang hangat diberitakan di koran-koran
lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku
sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumah tangga, entah
dia sedang berulang tahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat
tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya
yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa
(sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah satu rumah di Blok
D.
Nah, kau sudah tahu cerita yang
sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau bertanya tentang tangan
kananku yang terluka.
Kau tersipu malu.
Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau
tak melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat
kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.
Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu
sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?
HAMPIR empat bulan kita
menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kita
tinggal di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel,
Ilyas, penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu
….Maafkan aku telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.
Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi
hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar
sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan
yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek,
menyelinap di antara rumpun irish yang rimbun, sepuluh meter
dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota.
Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tiga kartu ATM-nya malam itu
juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba
ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai
tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban
ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untung saja ini bukanlah kota yang
ramai sehingga perkelahian kami tak menyedot perhatian. Hanya ada dua orang ABG
laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di
telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang
melaju kencang.
Itu adalah operasiku yang terakhir
setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah mewah itusudah lebih dari
cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan
aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan cara cuci tangan dari tiga
kali pembunuhan yang kulakukan!
Sebentar lagi, setelah anak-anak
terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkan tempat tidur dan
berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktu yang mustajab. Dan
keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan
pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu. Aku sudah
berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau
justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah
meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!
Kuhela napas beberapa kali. Sudah
terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini,
Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di
tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas
dari lubang pengaitnya. Aku tak kuasa menolak.
Dosa pembunuhan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar